Wednesday, December 27, 2017

December 27, 2017
pengaruh doktrin terhadap anak 

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dari kemajuan suatu bangsa. Menurut Prof. Lodge (Philosophy of education) perkataan pendidikan digunakan dalam arti luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas, semua pengalaman itu adalah pendidikan. Seorang anak mendidik orang tuanya, seperti halnya seorang murid mendidik gurunya. Segala sesuatu yang kita katakan, pikirkan, atau kerjakan tidak berbeda dengan apa yang dikatakan atau dilakukan sesuatu kepada kita, baik dari benda-benda hidup maupun mati. Dalam pengertian yang lebih luas ini, pendidikan adalah kehidupan ( Tim Dosen FIP IKIP Malang, 1988; 5).
Proses pendidikan terjadi dengan tujuan yang beragam. Masing-masing negara memiliki titik tekan sendiri dalam tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Tujuan pendidikan di negara maju dan berkembang juga berbeda. Bahkan, antar negara maju atau berkembang itu sendiri tujuan pendidikannya tidak sama. Begitupun tujuan pendidikan di pedesaan dan di perkotaan. Meskipun memiliki tujuan yang berbeda-beda terdapat suatu kesamaan diantara perbedaan tersebut. Pandangan pertama mengenai tujuan pendidikan dikemukakan oleh UNESCO. UNESCO mengemukakan pendidikan untuk semua tujuan (education for all goals). Menurut UNESCO, pada 2015 ada enam tujuan pendidikan yang disepakati secara internasional untuk memenuhi kebutuhan belajar semua anak, remaja, dan orang dewasa.
Tujuan 1  :   Memperluas serta meningkatkan perawatan dan pendidikan anak usia  dini yang komprehensif, terutama bagi anak-anak yang paling rentan dan kurang beruntung.
Tujuan 2 :    Memastikan bahwa menjelang tahun 2015, semua anak khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas, memiliki akses ke pendidikan dasar lengkap, gratis, dan wajib dengan kualitas yang baik.
Tujuan 3 :    Memastikan kebutuhan belajar semua anak muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil terhadap pembelajaran yang tepat dan program keterampilan hidup.
Tujuan 4 :    Mencapai 50 persen perbaikan dalam tingkat keaksaraan dewasa menjelang tahun 2015 terutama bagi perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
Tujuan 5 :    Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar serta menengah pada 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada 2015 dengan fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik.
Tujuan 6 :    Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan memastikan keunggulan semua sehingga hasil pembelajaran yang diakui dan terukur dicapai oleh semua, terutama dalam keaksaraan, berhitung, serta pengajaran tentang keahlian dan keterampilan hidup yang penting (http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/education-for-all/efa-goals/).
Pendidikan bermula dari lingkungan keluarga hingga pendidikan formal. Lingkungan keluarga adalah pendidikan paling dini yang didapatkan oleh manusia. Sejak lahir, bayi sudah diajarkan bagaimana cara berkomunikasi dan bersosialisasi. Tanpa disadari seringkali kita melupakan pentingnya keadaan lingkungan bagi keberhasilan suatu pendidikan. Lingkungan keluarga merupakan pondasi awal terbentuknya karakter manusia. Selanjutnya faktor lingkungan masyarakat juga sangat berpengaruh. Sebagai contoh, di suatu desa yang dulunya memiliki latar belakang kurang baik seperti yang sering disebut “kampung preman”. Meskipun julukan tersebut sekarang telah dihilangkan dari perspektif masyarakat tetapi secara tidak sadar ternyata hal tersebut masih bereinkarnasi kepada generasi muda. Anak-anak yang tinggal dan bermain di lingkungan tersebut justru mendapat contoh perilaku yang buruk dari para orang dewasa sehingga mereka justru meniru apa saja yang dilakukan oleh orang-orang dewasa tersebut. Selain meniru tingkah laku buruk orang dewasa tersebut, ternyata anak-anak juga telah diajarkan hal-hal buruk, seperti mengejek, berkata kasar, diskriminasi bahkan pornografi. 
Salah satu contoh yang penulis dapatkan ketika melakukan kegiatan sosial di Desa Bumiijo, Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Disana terdapat sebuah perkampungan yang jauh dari kata megah meskipun berada di tengah kota Yogyakarta. Desa Bumiijo dulu disebut sebagai “kampung preman” karena pada masa lalu tempat ini pernah dihuni oleh beberapa preman yang justru berasal dari luar daerah. Karena latar belakang inilah anak-anak yang penulis jumpai di desa tersebut bersikap sedikit kasar dan tidak sopan. Adanya doktrinasi negatif yang sudah tertanam dalam pikiran anak-anak sejak dini menjadi sesuatu yang cukup sulit untuk dihilangkan. Upaya yang penulis dan rekan-rekan lakukan untuk menghadapi persoalan ini adalah dengan mengadakan kegiatan pendampingan belajar di waktu bermain mereka. Meskipun hasil dari kegiatan sosial ini tidak secara langsung dapat dirasakan hasilnya tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan. Tujuannya agar menumbuhkan kebiasaan baru bagi anak-anak dengan mengkondisikan lingkungan bermain yang kondusif dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Sehingga akan melatih perilaku budaya yang baik bagi anak-anak.
Keberagaman lingkungan memang menjadi sesuatu hal yang wajar. Mengingat latar belakang budaya NKRI yang berbeda-beda tetapi tetap satu jua.  Satu jua yang dimaksud adalah sebuah kebaikan. Kebaikan yang dimiliki oleh berbagai keanekaragaman inilah yang memicu timbulnya persatuan. Sama halnya dengan lingkungan pendidikan, meskipun beragam tetapi kita harus menyelaraskannya antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain dalam segi positifnya. Sehingga lingkungan pendidikan yang kurang baik akan menghilang secara sendirinya. Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan berlangsung dalam tripusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga pendidikan ini harus selaras dan tidak boleh ada kesenjangan diantaranya. Pendidikan keluarga sangat penting tetapi pendidikan formal juga tidak kalah pentingnya. Tetapi mengingat pembagian waktunya, pendidikan keluarga dan masyarakat adalah yang paling dominan.
Lingkungan sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan (Beriyamin S. Bloom, 1976). Berbagai upaya yang dilakukan oleh orang tua maupun pemerintah dalam menciptakan pendidikan yang baik mulai dari pembenahan lingkungan sosial hingga upaya doktrin. Doktrin adalah salah satu upaya yang dilakukan bagi para orang tua maupun guru dalam mengajarkan hal yang baik kepada anak-anak. Sebagai contoh orang tua sering mengingatkan anaknya agar tidak bermain di saat petang menjelang malam karena tidak patut atau orang sunda biasa menyebutnya “pamali”. Ataupun orang tua sering mengajarkan anaknya untuk makan dan berjabat tangan dengan menggunakan tangan kanan. Dengan doktrin tersebut anak-anak secara tidak langsung dipaksa untuk patuh terhadap perintah. Jika ditinjau dari segi pragmatisnya, doktrin sangatlah efektif digunakan untuk mengajarkan kebaikan kepada anak-anak. Tetapi pada kasus yang terjadi di Desa Bumiijo ternyata fungsi doktrin tersebut justru disalahgunakan. Doktrin yang timbul justru berupa sesuatu hal negatif seperti mengajarkan diskriminasi terhadap pihak-pihak tertentu bahkan sampai menghina antar ras, suku, golongan maupun agama. Ternyata pengaruh doktrin bagi pendidikan anak usia dini sangatlah berpengaruh. Apapun doktrin yang diajarkan sejak awal itulah yang tertanam lama dalam pikiran mereka. Artinya fungsi doktrin ini harus dimanfaatkan untuk pendidikan yang baik, bukan justru menjurus pada pendidikan yang buruk. 
Doktrin agama adalah yang paling berpengaruh dalam pendidikan anak usia dini. Sejak kecil anak sudah diajarkan tentang tuhan serta mengenai perintah dan larangannya. Selain itu dijelaskan pula tentang konsekuensi atau hukuman bila melanggarnya. Seperti contoh, orang tua sering mengatakan bahwa jika kita berbohong maka akan mendapat dosa. Dan jika mendapat dosa yang banyak maka akan masuk neraka. Neraka adalah suatu tempat yang panas dan mengerikan. Mendengar pernyataan-pernyataan tersebut maka anak akan secara langsung menyakininya sebagai sesuatu yang benar adanya. Apalagi jika yang mengatakannya adalah orang yang ia percayai seperti orang tuanya atau gurunya. Doktrin sangatlah baik untuk diberikan kepada anak-anak usia dini tujuannya agar mereka dapat mengerti mengenai baik dan buruk serta konsekuensi dari suatu perbuatan. Tetapi doktrin juga dapat memberikan dampak sebaliknya jika diberikan dengan tanpa dasar seperti mengatakan bahwa agama X lebih baik dari agama Y. Maka secara tidak langsung anak akan menganggap bahwa agama Y pasti salah sedangkan agama X yang paling benar. Dampaknya akan timbul ketika anak tersebut bersosialisasi dengan teman yang memiliki keyakinan berbeda, maka ia akan mengejek dan mencaci agama selain yang diyakininya.
Selain faktor keluarga, lingkungan, dan sekolah juga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi pendidikan anak. Salah satunya adalah media elektronik yang  mayoritas digunakan oleh anak adalah televisi. Hasil kajian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, misalnya mencatat, rata-rata anak usia sekolah dasar menonton televisi antara 30-35 jam setiap minggu. Artinya setiap hari biasa mereka dapat menonton tayangan televisi lebih dari 4-5 jam. Sedangkan hari minggu bisa 7-8 jam. Jika rata-rata empat jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SMA. Dampak dari kebiasaan menonton tayangan televisi secara berlebihan dapat membuat anak juga bebas menonton tayangan apapun di televisi. Meskipun terdapat pembatasan usia tiap tayangan di televisi tetapi peran orang tua untuk memberikan pengetahuan anak tentang hal tersebut kurang optimal sehingga masih saja para anak dibiarkan secara bebas untuk menyaksikan berbagai tayangan di televisi. Bukan hanya di lingkungan bermain, doktrinasi juga dapat berlangsung melalui media elektronik seperti televisi. Banyaknya tayangan yang tidak pantas bagi anak-anak yang justru dipertontonkan sehingga membuat pikiran anak berubah drastis. Dari yang awalnya menyukai bermain bersama teman-teman justru menjadi paham akan romantisme. Sangat mengkhawatirkan apalagi kebanyakan anak yang berusia 6 sampai 10 tahun yang terkena dampaknya. Perlu kita pahami bahwa ini adalah salah satu bentuk doktrinasi modern. Tidak seperti kasus doktrinasi negatif yang terjadi di Desa Bumiijo. Doktrinasi modern ini justru lebih sulit untuk kita sadari. Bahkan meskipun tingkah laku anak sudah mulai berubah. Salah satu cara untuk mengatasi bahaya doktrinasi negatif adalah melalui pendidikan informal.
Pendidikan informal adalah pendidikan yang tidak terstruktur yang berkenan dengan pengalaman sehari-hari yang tidak terencana dan tidak terorganisasi (belajar incidental). Jika pengalaman-pengalaman diinterprestasikan atau dijelaskan oleh orang-orang yang lebih tua atau teman sejawat pengalaman itu merupakan pendidikan informal (Kleis, 1973: 3-4). Menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat yang terjadi secara alamiah disebut sebagai pendidikan informal. Selanjutnya dalam pasal 27 disebutkan bahwa : (1) kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. (2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan non-formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. (3) Ketentuan mengenal pengakuan hasil pendidikan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sebuah solusi yang tepat untuk menangani bahaya doktrinasi negatif terhadap pendidikan dengan cara melakukan kegiatan sosial berbasis lembaga pengabdian masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan. Fungsi lembaga pengabdian masyarakat ini adalah mengajak, mendampingi, mengedukasi serta membudayakan kegiatan-kegiatan positif kepada anak-anak usia dini (usia antara 4-12 tahun). Penulis dapat memberi contoh salah satu lembaga pengabdian masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta yang bernama Yogyakarta Mengajar (YM). Berkontribusi secara berkelanjutan dalam merealisasikan pendidikan informal yang baik kepada masyarakat khususnya anak-anak usia dini menjadi tujuan penulis. Selain itu penulis juga berharap dapat menemukan berbagai individu yang memiliki tujuan serupa untuk ikut berpartisipasi mendukung terciptanya dunia pendidikan yang lebih baik dengan menyatukan harmoni tujuan dari berbagai keberagaman kepentingan individu yang dimiliki.


       









Referensi :
Ahmadi, Rulam. 2014. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tim Dosen FIP IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Kleis, J., Lang, L., Mietus, J.R.& Tiapula, F.T.S. 1973. “Toward a Contextual Detinition of Nonformal Education.” Nonformal Education Discussion Papers. East Lansing, MI: Michigan State University.


Sumber Internet :
http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/education-for-all/efa-goals
Newer Post
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Post a Comment