pengaruh doktrin terhadap anak |
Pendidikan merupakan
salah satu faktor penting dari kemajuan suatu bangsa. Menurut Prof. Lodge (Philosophy of education) perkataan
pendidikan digunakan dalam arti luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas,
semua pengalaman itu adalah pendidikan. Seorang anak mendidik orang tuanya,
seperti halnya seorang murid mendidik gurunya. Segala sesuatu yang kita
katakan, pikirkan, atau kerjakan tidak berbeda dengan apa yang dikatakan atau
dilakukan sesuatu kepada kita, baik dari benda-benda hidup maupun mati. Dalam
pengertian yang lebih luas ini, pendidikan adalah kehidupan ( Tim Dosen FIP
IKIP Malang, 1988; 5).
Proses pendidikan
terjadi dengan tujuan yang beragam. Masing-masing negara memiliki titik tekan
sendiri dalam tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Tujuan pendidikan di negara
maju dan berkembang juga berbeda. Bahkan, antar negara maju atau berkembang itu
sendiri tujuan pendidikannya tidak sama. Begitupun tujuan pendidikan di
pedesaan dan di perkotaan. Meskipun memiliki tujuan yang berbeda-beda terdapat suatu
kesamaan diantara perbedaan tersebut. Pandangan pertama mengenai tujuan
pendidikan dikemukakan oleh UNESCO. UNESCO mengemukakan pendidikan untuk semua tujuan
(education for all goals). Menurut
UNESCO, pada 2015 ada enam tujuan pendidikan yang disepakati secara
internasional untuk memenuhi kebutuhan belajar semua anak, remaja, dan orang
dewasa.
Tujuan 1 : Memperluas serta meningkatkan perawatan dan
pendidikan anak usia dini yang
komprehensif, terutama bagi anak-anak yang paling rentan dan kurang beruntung.
Tujuan 2 : Memastikan
bahwa menjelang tahun 2015, semua anak khususnya anak perempuan, anak-anak
dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas, memiliki akses ke
pendidikan dasar lengkap, gratis, dan wajib dengan kualitas yang baik.
Tujuan 3 : Memastikan
kebutuhan belajar semua anak muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang
adil terhadap pembelajaran yang tepat dan program keterampilan hidup.
Tujuan 4 : Mencapai
50 persen perbaikan dalam tingkat keaksaraan dewasa menjelang tahun 2015
terutama bagi perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan
berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
Tujuan 5 : Menghapus
disparitas gender dalam pendidikan dasar serta menengah pada 2005 dan mencapai
kesetaraan gender dalam pendidikan pada 2015 dengan fokus jaminan bagi
perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan
kualitas yang baik.
Tujuan 6 : Meningkatkan
semua aspek kualitas pendidikan dan memastikan keunggulan semua sehingga hasil
pembelajaran yang diakui dan terukur dicapai oleh semua, terutama dalam
keaksaraan, berhitung, serta pengajaran tentang keahlian dan keterampilan hidup
yang penting (http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/education-for-all/efa-goals/).
Pendidikan bermula dari
lingkungan keluarga hingga pendidikan formal. Lingkungan keluarga adalah
pendidikan paling dini yang didapatkan oleh manusia. Sejak lahir, bayi sudah
diajarkan bagaimana cara berkomunikasi dan bersosialisasi. Tanpa disadari
seringkali kita melupakan pentingnya keadaan lingkungan bagi keberhasilan suatu
pendidikan. Lingkungan keluarga merupakan pondasi awal terbentuknya karakter
manusia. Selanjutnya faktor lingkungan masyarakat juga sangat berpengaruh.
Sebagai contoh, di suatu desa yang dulunya memiliki latar belakang kurang baik
seperti yang sering disebut “kampung preman”. Meskipun julukan tersebut
sekarang telah dihilangkan dari perspektif masyarakat tetapi secara tidak sadar
ternyata hal tersebut masih bereinkarnasi kepada generasi muda. Anak-anak yang
tinggal dan bermain di lingkungan tersebut justru mendapat contoh perilaku yang
buruk dari para orang dewasa sehingga mereka justru meniru apa saja yang
dilakukan oleh orang-orang dewasa tersebut. Selain meniru tingkah laku buruk
orang dewasa tersebut, ternyata anak-anak juga telah diajarkan hal-hal buruk,
seperti mengejek, berkata kasar, diskriminasi bahkan pornografi.
Salah satu
contoh yang penulis dapatkan ketika melakukan kegiatan sosial di Desa Bumiijo,
Jetis, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Disana terdapat sebuah
perkampungan yang jauh dari kata megah meskipun berada di tengah kota Yogyakarta.
Desa Bumiijo dulu disebut sebagai “kampung preman” karena pada masa lalu tempat
ini pernah dihuni oleh beberapa preman yang justru berasal dari luar daerah.
Karena latar belakang inilah anak-anak yang penulis jumpai di desa tersebut
bersikap sedikit kasar dan tidak sopan. Adanya doktrinasi negatif yang sudah
tertanam dalam pikiran anak-anak sejak dini menjadi sesuatu yang cukup sulit
untuk dihilangkan. Upaya yang penulis dan rekan-rekan lakukan untuk menghadapi
persoalan ini adalah dengan mengadakan kegiatan pendampingan belajar di waktu
bermain mereka. Meskipun hasil dari kegiatan sosial ini tidak secara langsung
dapat dirasakan hasilnya tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan. Tujuannya
agar menumbuhkan kebiasaan baru bagi anak-anak dengan mengkondisikan lingkungan
bermain yang kondusif dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Sehingga akan
melatih perilaku budaya yang baik bagi anak-anak.
Keberagaman lingkungan
memang menjadi sesuatu hal yang wajar. Mengingat latar belakang budaya NKRI
yang berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Satu jua yang dimaksud adalah sebuah kebaikan. Kebaikan yang dimiliki
oleh berbagai keanekaragaman inilah yang memicu timbulnya persatuan. Sama
halnya dengan lingkungan pendidikan, meskipun beragam tetapi kita harus
menyelaraskannya antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain dalam segi
positifnya. Sehingga lingkungan pendidikan yang kurang baik akan menghilang
secara sendirinya. Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan
berlangsung dalam tripusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Ketiga pendidikan ini harus selaras dan tidak boleh ada kesenjangan
diantaranya. Pendidikan keluarga sangat penting tetapi pendidikan formal juga
tidak kalah pentingnya. Tetapi mengingat pembagian waktunya, pendidikan keluarga
dan masyarakat adalah yang paling dominan.
Lingkungan sangat
mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan (Beriyamin S.
Bloom, 1976). Berbagai upaya yang dilakukan oleh orang tua maupun pemerintah
dalam menciptakan pendidikan yang baik mulai dari pembenahan lingkungan sosial
hingga upaya doktrin. Doktrin adalah salah satu upaya yang dilakukan bagi para
orang tua maupun guru dalam mengajarkan hal yang baik kepada anak-anak. Sebagai
contoh orang tua sering mengingatkan anaknya agar tidak bermain di saat petang
menjelang malam karena tidak patut atau orang sunda biasa menyebutnya “pamali”.
Ataupun orang tua sering mengajarkan anaknya untuk makan dan berjabat tangan
dengan menggunakan tangan kanan. Dengan doktrin tersebut anak-anak secara tidak
langsung dipaksa untuk patuh terhadap perintah. Jika ditinjau dari segi
pragmatisnya, doktrin sangatlah efektif digunakan untuk mengajarkan kebaikan kepada
anak-anak. Tetapi pada kasus yang terjadi di Desa Bumiijo ternyata fungsi
doktrin tersebut justru disalahgunakan. Doktrin yang timbul justru berupa
sesuatu hal negatif seperti mengajarkan diskriminasi terhadap pihak-pihak
tertentu bahkan sampai menghina antar ras, suku, golongan maupun agama.
Ternyata pengaruh doktrin bagi pendidikan anak usia dini sangatlah berpengaruh.
Apapun doktrin yang diajarkan sejak awal itulah yang tertanam lama dalam
pikiran mereka. Artinya fungsi doktrin ini harus dimanfaatkan untuk pendidikan
yang baik, bukan justru menjurus pada pendidikan yang buruk.
Doktrin agama adalah
yang paling berpengaruh dalam pendidikan anak usia dini. Sejak kecil anak sudah
diajarkan tentang tuhan serta mengenai perintah dan larangannya. Selain itu
dijelaskan pula tentang konsekuensi atau hukuman bila melanggarnya. Seperti contoh,
orang tua sering mengatakan bahwa jika kita berbohong maka akan mendapat dosa.
Dan jika mendapat dosa yang banyak maka akan masuk neraka. Neraka adalah suatu
tempat yang panas dan mengerikan. Mendengar pernyataan-pernyataan tersebut maka
anak akan secara langsung menyakininya sebagai sesuatu yang benar adanya.
Apalagi jika yang mengatakannya adalah orang yang ia percayai seperti orang
tuanya atau gurunya. Doktrin sangatlah baik untuk diberikan kepada anak-anak
usia dini tujuannya agar mereka dapat mengerti mengenai baik dan buruk serta
konsekuensi dari suatu perbuatan. Tetapi doktrin juga dapat memberikan dampak
sebaliknya jika diberikan dengan tanpa dasar seperti mengatakan bahwa agama X
lebih baik dari agama Y. Maka secara tidak langsung anak akan menganggap bahwa
agama Y pasti salah sedangkan agama X yang paling benar. Dampaknya akan timbul
ketika anak tersebut bersosialisasi dengan teman yang memiliki keyakinan
berbeda, maka ia akan mengejek dan mencaci agama selain yang diyakininya.
Selain faktor keluarga,
lingkungan, dan sekolah juga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi
pendidikan anak. Salah satunya adalah media elektronik yang mayoritas digunakan oleh anak adalah
televisi. Hasil kajian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, misalnya mencatat,
rata-rata anak usia sekolah dasar menonton televisi antara 30-35 jam setiap
minggu. Artinya setiap hari biasa mereka dapat menonton tayangan televisi lebih
dari 4-5 jam. Sedangkan hari minggu bisa 7-8 jam. Jika rata-rata empat jam
sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak
lulus SMA. Dampak dari kebiasaan menonton tayangan televisi secara berlebihan
dapat membuat anak juga bebas menonton tayangan apapun di televisi. Meskipun
terdapat pembatasan usia tiap tayangan di televisi tetapi peran orang tua untuk
memberikan pengetahuan anak tentang hal tersebut kurang optimal sehingga masih
saja para anak dibiarkan secara bebas untuk menyaksikan berbagai tayangan di
televisi. Bukan hanya di lingkungan bermain, doktrinasi juga dapat berlangsung
melalui media elektronik seperti televisi. Banyaknya tayangan yang tidak pantas
bagi anak-anak yang justru dipertontonkan sehingga membuat pikiran anak berubah
drastis. Dari yang awalnya menyukai bermain bersama teman-teman justru menjadi paham
akan romantisme. Sangat mengkhawatirkan apalagi kebanyakan anak yang berusia 6
sampai 10 tahun yang terkena dampaknya. Perlu kita pahami bahwa ini adalah
salah satu bentuk doktrinasi modern. Tidak seperti kasus doktrinasi negatif
yang terjadi di Desa Bumiijo. Doktrinasi modern ini justru lebih sulit untuk
kita sadari. Bahkan meskipun tingkah laku anak sudah mulai berubah. Salah satu
cara untuk mengatasi bahaya doktrinasi negatif adalah melalui pendidikan
informal.
Pendidikan informal
adalah pendidikan yang tidak terstruktur yang berkenan dengan pengalaman
sehari-hari yang tidak terencana dan tidak terorganisasi (belajar incidental). Jika pengalaman-pengalaman
diinterprestasikan atau dijelaskan oleh orang-orang yang lebih tua atau teman
sejawat pengalaman itu merupakan pendidikan informal (Kleis, 1973: 3-4).
Menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
dimaksud pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat
yang terjadi secara alamiah disebut sebagai pendidikan informal. Selanjutnya
dalam pasal 27 disebutkan bahwa : (1) kegiatan pendidikan informal yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. (2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama
dengan pendidikan formal dan non-formal setelah peserta didik lulus ujian
sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. (3) Ketentuan mengenal pengakuan
hasil pendidikan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sebuah solusi yang
tepat untuk menangani bahaya doktrinasi negatif terhadap pendidikan dengan cara
melakukan kegiatan sosial berbasis lembaga pengabdian masyarakat yang bergerak
di bidang pendidikan. Fungsi lembaga pengabdian masyarakat ini adalah mengajak,
mendampingi, mengedukasi serta membudayakan kegiatan-kegiatan positif kepada
anak-anak usia dini (usia antara 4-12 tahun). Penulis dapat memberi contoh
salah satu lembaga pengabdian masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
bernama Yogyakarta Mengajar (YM). Berkontribusi secara berkelanjutan dalam
merealisasikan pendidikan informal yang baik kepada masyarakat khususnya anak-anak
usia dini menjadi tujuan penulis. Selain itu penulis juga berharap dapat
menemukan berbagai individu yang memiliki tujuan serupa untuk ikut
berpartisipasi mendukung terciptanya dunia pendidikan yang lebih baik dengan
menyatukan harmoni tujuan dari berbagai keberagaman kepentingan individu yang
dimiliki.
Referensi :
Ahmadi, Rulam. 2014. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Tim Dosen FIP IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Kleis, J., Lang, L., Mietus, J.R.&
Tiapula, F.T.S. 1973. “Toward a Contextual Detinition of Nonformal Education.” Nonformal Education Discussion Papers.
East Lansing, MI: Michigan State University.
Sumber Internet :
http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-international-agenda/education-for-all/efa-goals
0 komentar:
Post a Comment