Pembahasan tentang manusia niscaya tidak akan pernah
kadaluarsa selama objek ataupun subjek bahasan tersebut masih eksis. Terutama
bagi yang merasa sebagai subjek, syarat utama untuk tetap waras adalah berpikir
secara cermat. Cermat tidak cukup dengan logis atau empiris, bahkan tidak
menutup jalan bagi episteme lainnya sebut saja wangsit. Meskipun wangsit
tidaklah memiliki bukti argumen yang kuat karena selama ini kita sedang
didominasi oleh paradigma mainstream. Kata “dominasi” disini bukan tanpa sebab saya
katakan. Dominasi merupakan implikasi dari adanya yang men-Dominasi dan tentu
saja ada yang didominasi. Apakah aspek yang menjadi syarat dominasi berlaku
secara valid?
Ada beberapa syarat mutlak yang harus dipenuhi. Pierre Bordieu
mengungkapkan adanya tiga komponen penting dari suatu hubungan sosiologis pada
kehidupan yang serba dipenuhi oleh dominasi ini. Yang pertama yaitu Habitus. Pengertiannya
sederhana seperti bagaimana subjek dapat menginternalisasikan faktor eksternal
di luar dirinya. Kedua yaitu Modal. Ada tidaknya modal sangat mempengaruhi
realisasi dari habitus. Nah, dalam hal ini modal juga dapat digolongkan sebagai
resource atau sumber daya apapun itu
misalnya energi dan sebagainya. Kemudian field.
Field atau lapangan merupakan arena
bermain bagi subjek dalam pertandingan dominasinya. Artinya dalam lingkup
inilah tergambar secara jelas siapa yang mendominasi dan sebaliknya. Asumsi bahwa
arena ini seolah tetap tetapi tidak demikian pula. Sebab arena ini
sewaktu-waktu dapat memuai selinear dengan kemampuan manusia sebagai subjek
untuk memperlebarnya.
Habitus memiliki peran personal terhadap implikasi “dominasi”.
Bordieu justru menganggap bahwa hal ini pada awalnya juga dibentuk oleh arena
sebelumnya yang disebut sebagai budaya atau kebiasaan umum. Sehingga pandangan
ini seolah memang mengantarkan kita pada corak determinis yang belum diketahui
finalnya. Hanya saja asumsi pertama mengatakan bahwa habitus ini diawali oleh
keinginan untuk sesuatu. Asumsi kedua yaitu justru modal atau kapital-lah yang
memulai habitus tertentu. Sebagai contoh misalnya, seseorang merasa lapar apa
karena tiba-tiba ia merasa lapar? Ataukah sebelumnya dipengaruhi oleh sebab
tertentu? Mungkin saja perutnya kosong pada saat itu. Secara autonomi otak akan memerintahkan stimulus untuk
memberikan respon lapar kepada orang tersebut. Keadaan demikianlah yang
mendorong subjek untuk mencari resource
atau sumber daya tertentu untuk memenuhi kebutuhannya. Jika seseorang menolak
hasrat tersebut maka konsekuensinya akan collapse.
Tentu saja tubuh atau lebih tepatnya otak kekurangan supply energi dari luar. Nah,
energi inilah juga termasuk resource
tadi. Maka dengan demikian secara alamiah manusia atau makhluk hidup apapun
termasuk tumbuhan juga membutuhkan energi atau sumber daya tertentu tersebut
dalam jumlah yang relatif.
Berikutnya apakah benar jumlah energi yang
dibutuhkan itu relatif? Lalu apakah faktor yang mempengaruhi relativitas
tersebut? Hal ini dapat dikembalikan lagi kepada habitus sebagai respon
terhadap apa yang dibutuhkan. Habitus bisa jadi tidak hanya menuruti apa kata
kebutuhan tetapi mungkinada semacam manipulasi dibaliknya. Jika kita kembali
lagi pada kebutuhan akan energi sesungguhnya energi ini untuk apa? Jawabannya pasti
power atau kekuatan. Kekuatan inilah
juga yang mendorong kemampuan untuk berkuasa. Kekuasaan inilah yang
sesungguhnya dapat memanipulasi kebutuhan alamiah. Akan tetapi kurnag tepat
jika faktor kekuasaan akan menciptakan manipulasi tersebut. Ada faktor lainnya,
maka kembali lagi pada habitus. Habitus ini menginternalisasikan eksternal. Sejauh
pengamatan sementara dapat diasumsikan ada semacam kekhawatiran akan resource yang terbatas oleh pengetahuan
kita. Diperparah lagi oleh identifikasi subjek atau objek lain di luar diri. Maka
efek insecure ini sesungguhnya lumrah
untuk dicapai. Keadaan tersebut dijadikan landasan untuk memperkuat dan
memperluas kekuasaan yang memenuhi seluruh arena atau “field” sekaligus
modalitas di dalamnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hal tersebut
merupakan egoisitas masing-masing. Egoisitas ini menjadi pembenaran atas
tindakan apapun diluar dirinya.
Secara lebih kompleks kemudian kebutuhan akan
berubah menjadi kekuatan melalui modalitas atau resource. Setelahnya kekuatan akan menjadi modal berikutnya bagi
habitus yang telah merespon keadaan real
di arena permainannya. Melalui kekuatan tersebut menjelmalah Kekuasaan yang
pada akhirnya akan diketahui siapa yang dikuasai yang kemudian akan menimbulkan
“dominasi”. Sebaliknya hal ini juga akan memunculkan yang “ter-dominasi”
berikutnya. Faktor yang mempengaruhi saling mendominasi ini akan terus terjadi
secara alamiah selama resource dan arena masih diketahui terbatas (limited). Jika kita ingin mencoba memperluasnya
lagi tetap saja gesekan antar kekuasaan itu masih ada bahkan tambah meluas dan
kompleks. Selama batas itu masih terlihat maka hukum saling “men-dominasi” ini
niscaya akan terus berlangsung dan akan berhenti hanya jika batas tersebut
telah lenyap dari pandangan atau observasi kita.
0 komentar:
Post a Comment