Wednesday, September 11, 2019

September 11, 2019


Pembahasan tentang manusia niscaya tidak akan pernah kadaluarsa selama objek ataupun subjek bahasan tersebut masih eksis. Terutama bagi yang merasa sebagai subjek, syarat utama untuk tetap waras adalah berpikir secara cermat. Cermat tidak cukup dengan logis atau empiris, bahkan tidak menutup jalan bagi episteme lainnya sebut saja wangsit. Meskipun wangsit tidaklah memiliki bukti argumen yang kuat karena selama ini kita sedang didominasi oleh paradigma mainstream. Kata “dominasi” disini bukan tanpa sebab saya katakan. Dominasi merupakan implikasi dari adanya yang men-Dominasi dan tentu saja ada yang didominasi. Apakah aspek yang menjadi syarat dominasi berlaku secara valid? 
Ada beberapa syarat mutlak yang harus dipenuhi. Pierre Bordieu mengungkapkan adanya tiga komponen penting dari suatu hubungan sosiologis pada kehidupan yang serba dipenuhi oleh dominasi ini. Yang pertama yaitu Habitus. Pengertiannya sederhana seperti bagaimana subjek dapat menginternalisasikan faktor eksternal di luar dirinya. Kedua yaitu Modal. Ada tidaknya modal sangat mempengaruhi realisasi dari habitus. Nah, dalam hal ini modal juga dapat digolongkan sebagai resource atau sumber daya apapun itu misalnya energi dan sebagainya. Kemudian field. Field atau lapangan merupakan arena bermain bagi subjek dalam pertandingan dominasinya. Artinya dalam lingkup inilah tergambar secara jelas siapa yang mendominasi dan sebaliknya. Asumsi bahwa arena ini seolah tetap tetapi tidak demikian pula. Sebab arena ini sewaktu-waktu dapat memuai selinear dengan kemampuan manusia sebagai subjek untuk memperlebarnya.
Habitus memiliki peran personal terhadap implikasi “dominasi”. Bordieu justru menganggap bahwa hal ini pada awalnya juga dibentuk oleh arena sebelumnya yang disebut sebagai budaya atau kebiasaan umum. Sehingga pandangan ini seolah memang mengantarkan kita pada corak determinis yang belum diketahui finalnya. Hanya saja asumsi pertama mengatakan bahwa habitus ini diawali oleh keinginan untuk sesuatu. Asumsi kedua yaitu justru modal atau kapital-lah yang memulai habitus tertentu. Sebagai contoh misalnya, seseorang merasa lapar apa karena tiba-tiba ia merasa lapar? Ataukah sebelumnya dipengaruhi oleh sebab tertentu? Mungkin saja perutnya kosong pada saat itu. Secara autonomi  otak akan memerintahkan stimulus untuk memberikan respon lapar kepada orang tersebut. Keadaan demikianlah yang mendorong subjek untuk mencari resource atau sumber daya tertentu untuk memenuhi kebutuhannya. Jika seseorang menolak hasrat tersebut maka konsekuensinya akan collapse. Tentu saja tubuh atau lebih tepatnya otak kekurangan supply energi dari luar. Nah, energi inilah juga termasuk resource tadi. Maka dengan demikian secara alamiah manusia atau makhluk hidup apapun termasuk tumbuhan juga membutuhkan energi atau sumber daya tertentu tersebut dalam jumlah yang relatif.
Berikutnya apakah benar jumlah energi yang dibutuhkan itu relatif? Lalu apakah faktor yang mempengaruhi relativitas tersebut? Hal ini dapat dikembalikan lagi kepada habitus sebagai respon terhadap apa yang dibutuhkan. Habitus bisa jadi tidak hanya menuruti apa kata kebutuhan tetapi mungkinada semacam manipulasi dibaliknya. Jika kita kembali lagi pada kebutuhan akan energi sesungguhnya energi ini untuk apa? Jawabannya pasti power atau kekuatan. Kekuatan inilah juga yang mendorong kemampuan untuk berkuasa. Kekuasaan inilah yang sesungguhnya dapat memanipulasi kebutuhan alamiah. Akan tetapi kurnag tepat jika faktor kekuasaan akan menciptakan manipulasi tersebut. Ada faktor lainnya, maka kembali lagi pada habitus. Habitus ini menginternalisasikan eksternal. Sejauh pengamatan sementara dapat diasumsikan ada semacam kekhawatiran akan resource yang terbatas oleh pengetahuan kita. Diperparah lagi oleh identifikasi subjek atau objek lain di luar diri. Maka efek insecure ini sesungguhnya lumrah untuk dicapai. Keadaan tersebut dijadikan landasan untuk memperkuat dan memperluas kekuasaan yang memenuhi seluruh arena atau “field” sekaligus modalitas di dalamnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan egoisitas masing-masing. Egoisitas ini menjadi pembenaran atas tindakan apapun diluar dirinya.
Secara lebih kompleks kemudian kebutuhan akan berubah menjadi kekuatan melalui modalitas atau resource. Setelahnya kekuatan akan menjadi modal berikutnya bagi habitus yang telah merespon keadaan real di arena permainannya. Melalui kekuatan tersebut menjelmalah Kekuasaan yang pada akhirnya akan diketahui siapa yang dikuasai yang kemudian akan menimbulkan “dominasi”. Sebaliknya hal ini juga akan memunculkan yang “ter-dominasi” berikutnya. Faktor yang mempengaruhi saling mendominasi ini akan terus terjadi secara alamiah selama resource dan arena masih diketahui terbatas (limited). Jika kita ingin mencoba memperluasnya lagi tetap saja gesekan antar kekuasaan itu masih ada bahkan tambah meluas dan kompleks. Selama batas itu masih terlihat maka hukum saling “men-dominasi” ini niscaya akan terus berlangsung dan akan berhenti hanya jika batas tersebut telah lenyap dari pandangan atau observasi kita.   

0 komentar:

Post a Comment