Tuesday, April 24, 2018

April 24, 2018


I.                   Pendahuluan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyebutkan bahwa negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Sulistiyawati, 2012: 195).
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014 menyatakan bahwa pembangunan di bidang ekonomi ditujukan untuk menjawab berbagai permasalahan dan tantangan dengan tujuan akhir adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tataran global, ”Deklarasi Millennium” yang ditandatangani di New York tahun 2000 juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs) (Bappenas, 2007).
Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam sektor ketahanan pangan, Perum Bulog telah mendapatkan izin untuk mengimpor 100.000 ton daging kerbau pada tahun 2018 (Waluyo, 2018). Kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi peningkatan permintaan masyarakat terhadap kebutuhan daging terutama menjelang waktu-waktu penting seperti hari raya.
Akan tetapi, kebijakan mengimpor daging kerbau tersebut telah menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Kebijakan ini menuai penolakan dari Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI). "Telah terbukti bahwa kebijakan impor daging kerbau di tahun lalu bagi peternak rakyat lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya," ujar Ketua Umum DPP PPSKI Teguh Boediyana (22/01/18).
Pernyataan tersebut justru bertolak belakang dengan respon dari para pedagang daging sapi atau kerbau yang menyetujui kebijakan impor tersebut. Pasalnya dengan kebijakan impor daging tersebut maka para pedagang akan diuntungkan dengan adanya penurunan harga daging di pasaran. Sehingga permintaan terhadap daging juga akan meningkat.
Kedua kondisi tersebut jelas bertolak belakang. Di satu sisi kebijakan impor daging tersebut telah merugikan para peternak lokal yang kalah saing harga jual dengan harga daging impor yang lebih murah dalam penjualan pasar. Sedangkan di sisi lain, para pedagang justru diuntungkan dengan adanya kebijakan impor daging tersebut karena dapat menurunkan harga daging di pasaran, sehingga masyarakat akan terjangkau untuk membeli daging.
Kondisi tersebut telah menarik perhatian penulis untuk menganalisis perilhal siapakah yang disejahterakan oleh pemerintah dalam kebijakan impor daging kerbau tersebut? Apakah pemerintah benar-benar telah menyejahterakan masyarakat termasuk peternak lokal? Beberapa pertanyaan tersebut akan penulis kaji lebih dalam pada karya esai yang berjudul “Pro Dan Kontra: Pengaruh Kebijakan Impor Daging Kerbau Tahun 2018 Terhadap Kesejahteraan Rakyat Indonesia”.

II.                   Pembahasan
Pemerintah memutuskan mengimpor daging kerbau dari India sejak 2016 lalu. Keputusan impor daging kerbau dilakukan karena harga daging sapi yang sangat tinggi, bahkan harga bergejolak ketika hari besar. Adanya daging kerbau diharapkan menjadi alternatif atau pilihan daging untuk masyarakat selain sapi, sehingga harga daging sapi bisa turun. Meski demikian, sampai saat ini harga daging sapi tidak kunjung turun. Di pasaran, harga daging sapi masih cukup tinggi, yaitu sekitar 120.000 rupiah per kilogram (Afriyadi, 2018).
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut cenderung tidak membuahkan hasil yang nyata. Justru kebijakan tersebut telah menimbulkan polemik baru, yaitu berkenaan dengan nasib para peternak lokal yang kalah bersaing dengan adanya daging impor tersebut. Keadaan ini dapat membuat para peternak lokal kesulitan dalam ekonomi, sehingga mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti melanjutkan usaha peternakannya.
Membahas persoalan urgensi dari kebijakan impor daging kerbau yang dilakukan oleh pemerintah memang seakan hanya mengarah pada kalangan menengah ke atas saja. Mengingat para konsumen daging tersebut mayoritas adalah masrayakat perkotaan yang dapat dikatakan mampu secara finansial. 
Harga daging sapi masih tergolong mahal bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, sehingga dampak penurunan harga daging tersebut justru hanya dapat dirasakan oleh masyarakat menengah ke atas saja. Hal ini tampaknya cenderung akan menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat.
Selain itu, jumlah kuota izin impor tersebut melonjak lebih dari 81% dibandingkan total realisasi impor daging kerbau pada tahun 2017 yang hanya sebesar 55.000 ton (Basith dan Laoli, 2018). Kenaikan kuota izin impor daging kerbau dari tahun sebelumnya juga dinilai sangat ganjil. Meskipun dampak impor daging kerbau pada tahun 2017 terhadap penurunan harga daging di pasaran sangat kecil, justru kali ini pemerintah membuat kebijakan untuk menambahkan kuota impornya.
Peningkatan jumlah impor daging kerbau tahun ini didasarkan pada evaluasi tahun 2017. Tahun lalu, rata-rata permintaan dan penjualan daging kerbau mencapai 6.000–7.000 ton per bulan. Itu belum termasuk permintaan yang meningkat tajam saat bulan Ramadan, Lebaran, Natal, dan tahun baru (Basith dan Laoli, 2017). Permintaan kebutuhan daging yang sangat tinggi ini justru dijadikan sebagai alasan pemerintah untuk melakukan kebijakan impor daging kerbau. Alih-alih ingin mencukupi kebutuhan daging dalam negeri, pemerintah sepertinya mencoba untuk menutupi celah-celah kekurangan produksi daging lokal.
Tujuan pemerintah untuk menyejahterakan rakyat justru berbanding terbalik dengan kondisi para peternak lokal. Dalam hal ini pemerintah seperti tidak memberikan kesempatan lagi terhadap para peternak lokal dalam mengembangkan usahanya. Bukannya membuat kebijakan untuk memdorong usaha peternakan lokal, justru pemerintah malah membuat kebijakan daging impor yang jelas merugikan para peternak lokal.
 Salah satu jagal sapi di Jabodetabek, Edy Wijayanto mengatakan selama tahun 2017 pihaknya mengalami penurunan penjualan ke pedagang sapi. Biasanya dalam sehari ia bisa memotong 5-8 ekor sapi, namun saat ini hanya mampu memotong 1-2 ekor sapi per hari.  Sementara itu, peternak sapi potong di Jawa Timur, Joko Utomo mengatakan selama setahun ini ternak sapi mengalami penurunan yang sangat signifikan. Pedagang sapi lokal, Toto Suwoto juga mengeluhkan hal yang sama. Pihaknya kini hanya mampu menjual 25 ekor sapi per bulan, dari yang biasanya 100 ekor per bulan. Hal yang sama juga dialami di rumah potong hewan di Jabodetabek, misalnya dialami oleh Karnadi. Menurutnya, permintaan terhadap daging sapi lokal saat ini sangat menurun (Nurhayat, 2017).
Beralihnya permintaaan masyarakat dari daging sapi lokal ke daging kerbau impor jelas membuat para peternak lokal dapat dikatakan “gulung tikar” karena semakin menurunnya daya serap pasar terhadap daging lokal. Pola perubahan konsumsi ini juga dinilai dapat berdampak jangka panjang. Jika hal ini terus terjadi maka kemungkinan di masa yang akan datang tidak ada lagi para peternak lokal. Dengan keadaan tersebut maka akan semakin menambah angka kemiskinan di Indonesia akibat bertambah sempitnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
III.                Kesimpulan
Kebijakan impor  daging kerbau dinilai tidak banyak menghasilkan manfaat justru kerugian. Dengan adanya kebijakan tersebut justru akan merugikan para peternak lokal dalam mengembangkan usahanya. Produktifitas peternakan lokal pun akan semakin menurun dengan adanya kebijakan impor daging kerbau tersebut. Permintaan pasar pun akan beralih dari daging lokal ke daging impor sehingga penawaran terhadap daging lokal pun akan menurun. Akibatnya para peternak akan mengalami kerugian dengan adanya penurunan harga daging lokal.
Pemerintah seharusnya membuat kebijakan untuk mendorong dan mendukung usaha peternakan lokal daripada membuat kebijakan impor daging kerbau. Selain dapat membuat para peternak lokal lebih sejahtera juga dapat menambah produktifitas peternakan nasional guna mengimbangi permintaan pasar terhadap kebutuhan daging.
















DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007. Bappenas: Jakarta.
Sulistiawati, Rini. 2012. Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia. Jurnal Eksos: Pontianak, vol. 8, hal 195-211

SUMBER INTERNET


0 komentar:

Post a Comment