I.
Pendahuluan
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyebutkan bahwa negara Indonesia
dibentuk untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa (Sulistiyawati, 2012: 195).
Dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014 menyatakan bahwa pembangunan di bidang
ekonomi ditujukan untuk menjawab berbagai permasalahan dan tantangan dengan
tujuan akhir adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tataran global,
”Deklarasi Millennium” yang ditandatangani di New York tahun 2000 juga
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu berisi komitmen
untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Komitmen
tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai
Millennium Development Goals (MDGs) (Bappenas, 2007).
Dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam sektor ketahanan pangan, Perum Bulog
telah mendapatkan izin untuk mengimpor 100.000 ton daging kerbau pada tahun
2018 (Waluyo, 2018). Kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi peningkatan
permintaan masyarakat terhadap kebutuhan daging terutama menjelang waktu-waktu
penting seperti hari raya.
Akan
tetapi, kebijakan mengimpor daging kerbau tersebut telah menimbulkan pro dan
kontra dari berbagai pihak. Kebijakan ini menuai
penolakan dari Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau
Indonesia (PPSKI). "Telah terbukti bahwa kebijakan impor daging kerbau di
tahun lalu bagi peternak rakyat lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya," ujar Ketua Umum DPP PPSKI Teguh Boediyana (22/01/18).
Pernyataan
tersebut justru bertolak belakang dengan respon dari para pedagang daging sapi
atau kerbau yang menyetujui kebijakan impor tersebut. Pasalnya dengan kebijakan
impor daging tersebut maka para pedagang akan diuntungkan dengan adanya
penurunan harga daging di pasaran. Sehingga permintaan terhadap daging juga
akan meningkat.
Kedua kondisi
tersebut jelas bertolak belakang. Di satu sisi kebijakan impor daging tersebut
telah merugikan para peternak lokal yang kalah saing harga jual dengan harga
daging impor yang lebih murah dalam penjualan pasar. Sedangkan di sisi lain,
para pedagang justru diuntungkan dengan adanya kebijakan impor daging tersebut
karena dapat menurunkan harga daging di pasaran, sehingga masyarakat akan
terjangkau untuk membeli daging.
Kondisi tersebut telah menarik perhatian penulis
untuk menganalisis perilhal siapakah yang disejahterakan oleh pemerintah dalam
kebijakan impor daging kerbau tersebut? Apakah pemerintah benar-benar telah
menyejahterakan masyarakat termasuk peternak lokal? Beberapa pertanyaan
tersebut akan penulis kaji lebih dalam pada karya esai yang berjudul “Pro Dan
Kontra: Pengaruh Kebijakan Impor Daging Kerbau Tahun 2018 Terhadap
Kesejahteraan Rakyat Indonesia”.
II.
Pembahasan
Pemerintah memutuskan mengimpor daging kerbau dari India
sejak 2016 lalu. Keputusan impor daging kerbau dilakukan karena harga daging
sapi yang sangat tinggi, bahkan harga bergejolak ketika hari besar.
Adanya daging kerbau diharapkan menjadi
alternatif atau pilihan daging untuk masyarakat selain sapi, sehingga harga
daging sapi bisa turun. Meski demikian, sampai saat ini harga daging sapi tidak
kunjung turun. Di pasaran, harga daging sapi masih cukup tinggi, yaitu sekitar
120.000 rupiah per kilogram (Afriyadi, 2018).
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut cenderung
tidak membuahkan hasil yang nyata. Justru kebijakan tersebut telah menimbulkan polemik
baru, yaitu berkenaan dengan nasib para peternak lokal yang kalah bersaing
dengan adanya daging impor tersebut. Keadaan ini dapat membuat para peternak
lokal kesulitan dalam ekonomi, sehingga mereka akhirnya memutuskan untuk
berhenti melanjutkan usaha peternakannya.
Membahas persoalan urgensi dari kebijakan impor daging kerbau
yang dilakukan oleh pemerintah memang seakan hanya mengarah pada kalangan
menengah ke atas saja. Mengingat para konsumen daging tersebut mayoritas adalah
masrayakat perkotaan yang dapat dikatakan mampu secara finansial.
Harga daging sapi masih tergolong mahal bagi masyarakat
kalangan menengah ke bawah, sehingga dampak penurunan harga daging tersebut
justru hanya dapat dirasakan oleh masyarakat menengah ke atas saja. Hal ini tampaknya
cenderung akan menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat.
Selain
itu, jumlah kuota izin impor tersebut melonjak lebih dari 81% dibandingkan
total realisasi impor daging kerbau pada tahun 2017 yang hanya sebesar 55.000
ton (Basith dan Laoli, 2018). Kenaikan kuota izin impor daging kerbau dari
tahun sebelumnya juga dinilai sangat ganjil. Meskipun dampak impor daging
kerbau pada tahun 2017 terhadap penurunan harga daging di pasaran sangat kecil,
justru kali ini pemerintah membuat kebijakan untuk menambahkan kuota impornya.
Peningkatan
jumlah impor daging kerbau tahun ini didasarkan pada evaluasi tahun 2017. Tahun
lalu, rata-rata permintaan dan penjualan daging kerbau mencapai 6.000–7.000 ton
per bulan. Itu belum termasuk permintaan yang meningkat tajam saat bulan
Ramadan, Lebaran, Natal, dan tahun baru (Basith dan Laoli, 2017). Permintaan
kebutuhan daging yang sangat tinggi ini justru dijadikan sebagai alasan
pemerintah untuk melakukan kebijakan impor daging kerbau. Alih-alih ingin
mencukupi kebutuhan daging dalam negeri, pemerintah sepertinya mencoba untuk
menutupi celah-celah kekurangan produksi daging lokal.
Tujuan
pemerintah untuk menyejahterakan rakyat justru berbanding terbalik dengan
kondisi para peternak lokal. Dalam hal ini pemerintah seperti tidak memberikan
kesempatan lagi terhadap para peternak lokal dalam mengembangkan usahanya.
Bukannya membuat kebijakan untuk memdorong usaha peternakan lokal, justru
pemerintah malah membuat kebijakan daging impor yang jelas merugikan para
peternak lokal.
Salah satu
jagal sapi di Jabodetabek, Edy Wijayanto mengatakan selama tahun 2017 pihaknya
mengalami penurunan penjualan ke pedagang sapi. Biasanya dalam sehari ia bisa
memotong 5-8 ekor sapi, namun saat ini hanya mampu memotong 1-2 ekor sapi per
hari. Sementara itu, peternak sapi potong di Jawa Timur, Joko Utomo mengatakan
selama setahun ini ternak sapi mengalami penurunan yang sangat signifikan.
Pedagang sapi lokal, Toto Suwoto juga mengeluhkan hal yang sama. Pihaknya kini
hanya mampu menjual 25 ekor sapi per bulan, dari yang biasanya 100 ekor per
bulan. Hal yang sama juga dialami di rumah potong hewan di Jabodetabek,
misalnya dialami oleh Karnadi. Menurutnya, permintaan terhadap daging sapi
lokal saat ini sangat menurun (Nurhayat, 2017).
Beralihnya permintaaan masyarakat dari daging sapi lokal ke
daging kerbau impor jelas membuat para peternak lokal dapat dikatakan “gulung
tikar” karena semakin menurunnya daya serap pasar terhadap daging lokal. Pola
perubahan konsumsi ini juga dinilai dapat berdampak jangka panjang. Jika hal
ini terus terjadi maka kemungkinan di masa yang akan datang tidak ada lagi para
peternak lokal. Dengan keadaan tersebut maka akan semakin menambah angka
kemiskinan di Indonesia akibat bertambah sempitnya lapangan pekerjaan bagi
masyarakat.
III.
Kesimpulan
Kebijakan
impor daging kerbau dinilai tidak banyak
menghasilkan manfaat justru kerugian. Dengan adanya kebijakan tersebut justru
akan merugikan para peternak lokal dalam mengembangkan usahanya. Produktifitas
peternakan lokal pun akan semakin menurun dengan adanya kebijakan impor daging
kerbau tersebut. Permintaan pasar pun akan beralih dari daging lokal ke daging
impor sehingga penawaran terhadap daging lokal pun akan menurun. Akibatnya para
peternak akan mengalami kerugian dengan adanya penurunan harga daging lokal.
Pemerintah
seharusnya membuat kebijakan untuk mendorong dan mendukung usaha peternakan
lokal daripada membuat kebijakan impor daging kerbau. Selain dapat membuat para
peternak lokal lebih sejahtera juga dapat menambah produktifitas peternakan
nasional guna mengimbangi permintaan pasar terhadap kebutuhan daging.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas.
2007. Laporan Perkembangan Pencapaian
Millennium Development Goals Indonesia 2007. Bappenas: Jakarta.
Sulistiawati,
Rini. 2012. Pengaruh Upah Minimum
terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di
Indonesia. Jurnal Eksos: Pontianak, vol. 8, hal 195-211
SUMBER INTERNET
https://industri.kontan.co.id/news/kuota-impor-daging-kerbau-di-2018-melonjak-81-dari-realisasi-2017
(diakses pada tanggal 5 April 2018 pada pukul 05.17 WIB)
http://industri.bisnis.com/read/20180117/99/727567/bulog-siapkan-rp1-triliun-untuk-impor-daging-kerbau-2018
(diakses pada tanggal 7 April 2018 pada pukul 05.30 WIB)
https://www.merdeka.com/uang/kemendag-keluarkan-izin-impor-daging-kerbau-100-ton-di-2018.html
(diakses pada tanggal 7 April 2018 pada pukul 05.37 WIB)
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3892394/apa-kabar-impor-daging-kerbau-dari-india
(diakses pada tanggal 7 April 2018 pada pukul 05.40 WIB)
http://republika.co.id/berita/ekonomi/pertanian/18/01/22/p2yi19415-kementan-belum-keluarkan-rekomendasi-impor-daging-kerbau
(diakses pada tanggal 7 April 2018 pada pukul 05.42 WIB)
https://kumparan.com/@kumparannews/kebijakan-impor-daging-kerbau-beku-dikeluhkan-peternak-lokal
(diakses pada tanggal 13 April 2018 pada pukul 10.50 WIB)
0 komentar:
Post a Comment