lahan gambut yang terbakar |
Indonesia adalah negara yang memiliki sejuta kekayaan
alam yang tersebar dari sabang sampai merauke. Kekayaan alam tersebut terdiri
dari agraris dan maritim. Dalam kekayaan maritim, Indonesia memiliki lautan
sangat luas serta terdapat sumber daya
laut yang melimpah di dalammya. Sedangkan kekayaan agraris di Indonesia
meliputi sektor pertanian, perikanan air tawar, peternakan, dan perkebunan.
Sektor pertanian menjadi andalan bagi Indonesia dalam memanfaatkan kekayaan
agraris. Tetapi masalah yang sering timbul dalam sektor pertanian masih sulit
untuk diatasi. Masalah tersebut tentang pemanfaatan lahan gambut di Indonesia.
Tidak
jarang realita harus kontra dengan harapan yang telah dirumuskan. Hingga saat ini pemanfaatan lahan gambut di Indonesia
masih menuai pro dan kontra dari
berbagai pihak, walaupun pemanfaatannya belum dapat memberikan hasil maksimal.
Maka dari itu, perlu ditegaskan kembali tentang arti sesungguhnya dari kata
“pemanfaatan” dalam permasalahan lahan gambut di Indonesia.
Membiarkan lahan gambut untuk habitat flora atau fauna
merupakan salah satu pemanfaatan lahan gambut yang bijaksana. Pernyataan ini
telah disepakati dalam salah satu seminar di luar negeri yang bernama “Wise Use of peatland”. Pernyataan
tersebut bukan tanpa alasan karena telah dipertegas kembali pada “ international symposium and workshop and
National Seminar on restoration and wise use of tropical peatland yang diselenggarakan
di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Oleh karena itu para ilmuwan maupun penentu
kebijakan harus mengubah konsepsi bahwa pemanfaatan lahan gambut harus
dilakukan dengan membuka lahan baru hingga penanaman komoditi tertentu saja.
Pembukaan lahan baru dapat mengubah
fungsi asli dari wilayah gambut itu sendiri. Berdasarkan fakta, hal ini dapat
mengancam ekosistem termasuk merugikan bagi masyarakat di sekitarnya. Seperti
halnya proyek PLG di Kalimantan tengah yang ditargetkan akan menjadi sentral
penghasil beras terbesar, justru mengancam ekosistem di sekitarnya. Proyek PLG
di Kalimantan tengah ini sekarang menjadi penghasil asap. Keinginan pihak
tertentu atau kepentingan politik sudah seharusnya dijauhkan dari permasalahan
ini. Karena masalah asap yang telah timbul di Kalimantan tengah tidak dapat
dipolitisir seperti halnya para pejabat. Tidak masalah jika gambut dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian, tetapi perlu dilakukan pengelolahan secara baik dan
benar serta tanggung jawab. Selain itu penanaman komoditi tanaman harus sesuai
dengan jenis lahan gambut itu sendiri. Artinya kita perlu cermat dalam
mengelolanya.
Menurut seorang peneliti bernama Hardjowigeno, Gambut
terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun
belum. Timbunan bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan kondisi lingkungan lainnya yang
menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah
yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda denga proses
pedogenik.
Lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan
jika gambut dangkal atau kurang dari 100 cm. Fakta ini sesuai dengan arahan
Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008). Dasar pertimbangannya adalah
gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif tinggi dan memiliki risiko
lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Tanaman pangan yang dapat
beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubi kayu, kacang panjang dan
berbagai jenis sayuran lainnya. Sedangkan lahan gambut dengan kedalaman antara
1,4 - 2 m dapat ditanami kelapa sawit. Tetapi lahan gambut dalam dinilai lebih
sulit dalam pengelolaannya daripada lahan gambut dangkal. Dalam pemanfaatan
lahan gambut juga tidak boleh melanggar Keputusan Presiden No. 32/1990 yang
berisi tentang larangan menanam atau mengolah lahan gambut dengan kedalaman
lebih dari 3 m. Karena lahan tersebut diperuntukan untuk kawasan konservasi.
Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus
menerapkan teknologi pengelolaan air, yang disesuaikan dengan karakteristik
gambut dan jenis tanaman. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm
diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan gambut.
Tanaman padi sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi
drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh
untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek
interval atau jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi.
Walaupun dampak negatif dari drainase akan membuat semakin cepat laju subsiden
dan dekomposisi gambut. Selain itu perlu adanya pengelolaan kesuburan tanah.
Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tanaman pangan dapat memberikan hasil
maksimal. Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya
ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman.
Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan
sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah. Dalam
pengelolaan lahan gambut juga diperlukan strategi untuk meningkatkan kesuburan
tanahnya. Karena keterbatasan kemampuan untuk mendapat pupuk dan bahan amelioran,
maka untuk meningkatkan kesuburan tanah petani membakar seresah tanaman dan
sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Praktek ini dapat ditemukan di
kalangan petani yang menanam sayuran dan tanaman pangan secara tradisional di
berbagai tempat seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan
dan Jambi. Dengan cara ini petani mendapatkan amelioran berupa abu yang dapat
memperbaiki produktivitas gambut. Namun, abu hasil pembakaran mudah hanyut dan
efektifitasnya terhadap peningkatan kesuburan tanah tidak berlangsung lama.
Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena dapat memicu kebakaran hutan dan
lahan yang lebih luas, mempercepat subsiden, meningkatkan emisi
dan mendatangkan bahaya asap yang menganggu
kesehatan serta menganggu lalu lintas.
Untuk menghindari kebakaran, maka pembakaran serasah harus dilakukan secara
terkendali di satu tempat khusus berupa lubang yang dilapisi dengan tanah
mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan
baik di lahan gambut di Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah
harus dilakukan langsung di lapangan,
maka harus dipastikan bahwa gambut di bawahnya jenuh air supaya gambut tidak
terbakar. Dalam jangka panjang pembakaran serasah dan gambut perlu dicegah
untuk menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan
bimbingan cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk
bagi petani oleh pemerintah setempat.
Selain dapat
dimanfaatkan sebagi lahan untuk pertanian, gambut juga dapat dimanfaatkan
sebagai wilayah konservasi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur
dalam keputusan presiden No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung.
Perlindungan terhadap kawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi
wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta
melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Konservasi lahan
gambut juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya karbon tersimpan yang
jumlahnya sangat besar. Konservasi kawasan gambut sangat penting karena hasil penelitian
menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan luasan gambut di beberapa tempat di
Indonesia. Di kawasan delta pula petak
pada tahun 1952 masih tercatat sekitar 51.360 ha lahan gambut. Pada tahun 1972
kawasan gambut di daerah tersebut menyusut menjadi 26.400 ha dan selanjutnya pada
tahun 1992 menyusut lagi menjadi 9.600 ha (Sarwani dan Widjaja-Adhi, 1994). Hal
ini menunjukkkan bahwa laju kerusakan gambut berjalan sangat cepat. Selain
hilangnya fungsi hidrologis lahan gambut, ada bahaya lain bila tanah mineral di
bawah lapisan gambut adalah tanah mineral berpirit. Saat ini sebagian besar
dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi lahan sulfat masam aktual terlantar dan menjadi
sumber pencemaran lingkungan perairan di daerah sekitarnya.
Menurut widjaja-adhi (1997) wilayah ekosistem lahan
gambut dapat dibagi menjadi dua kawasan, yaitu: kawasan non-budidaya dan
kawasan budidaya. Kawasan non-bududaya terdiri dari jalur hijau sepanjang
pantai dan tanggul sungai. Sedangkan,
kawasan budidaya terdiri dari area tampul hujan yang luasnya minimal sepertiga
dari seluruh kawasan. Area tampung hujan ini harus menjadi kawasan konservasi.
Karena berfungsi sebagai penyimpan air
yang bisa mensuplai air bagi wilayah di sekitarnya, terutama pada musim
kemarau, baik untuk air minum maupun usaha tani. Pada musim hujan kawasan ini
berfungsi sebagai penampung air yang berlebihan sehingga mengurangi resiko
banjir di kawasan sekitarnya. Hal ini terbukti karena gambut memiliki daya menampung
air sangat besar yaitu sampai 13 kali bobot keringnya. Perlindungan terhadap
kawasan tampung hujan akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih produktif.
Ada beberapa pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka
konservasi lahan gambut:
1)
menanggulangi
kebakaran hutan dan lahan gambut,
Kebakaran
lahan gambut yang sering terjadi di Indonesia banyak disebabkan oleh kesengajaan
manusia itu sendiri. Atau ketika musim kemarau tiba maka pepohonan yang kering
biasanya akan terbakar dengan sendirinya.
Sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan dengan cara membuat peraturan
tentang larangan membakar lahan gambut di area terbuka.
2)
penanaman
kembali pohon-pohonan,
Pemerintah daerah dan juga
masyarakat perlu melakukan reboisasi atau penanaman kembali tanaman asli pada
lahan gambut yang telah dimanfaatkan .
3)
pengaturan
tinggi muka air tanah,
Perlu
dilakukan pengaturan terhadap muka tinggi air tanah. Karena jika muka air tanah
terlalu tinggi maka pada musm penghujan lahan gambut aka rawan banjir.
Sedangkan jika muka air tanah terlalu rendah akan berdampak buruk bagi gambut
pada musim kemarau.
4)
memanfaatkan
lahan semak belukar yang terlantar,
Masyarakat
maupun pemerintah seharusnya dapat memanfaatkan lahan semak belukar yang tidak produktif
menjadi produktif dengan penanaman komodti tertentu yang cocok bagi wilayah
tersebut.
5)
penguatan
peraturan perundang-undangan dan pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan gambut, dan
Pemerintah
perlu memberlakukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
penggunaan dan pengelolaan lahan gambut. Sehingga para pelaku mendapat batasan-batasan
tertentu tentang pengelolaan lahan gambut di Indonesia.
6)
pemberian
insentif dalam konservasi gambut.
Pemerintah
perlu memberikan dana kepada pengelola gambut agar wilayah tersebut dapat
dijadikan wilayah konservasi sesuai dengan peraturan undang-undang yang
berlaku. Karena biasanya faktor dana sering menjadi alasan bagi para pengelola
untuk merealisasikan hal tersebut.
Permasalahan lahan gambut seharusnya dapat diatasi
dengan mudah jika pihak pengelola dan pemerintah dapat bekerja sama. Pihak
pengelola perlu mengkoordinasikan berbagai permasalahan lahan gambut kepada
pemerintah. Pemerintah juga harus responsif dalam menanggapi permasalahan ini.
Permasalahan lahan gambut sering timbul akibat pengelola yang menentukan
kebijakannya sendiri tanpa mempertimbangkan dampak lingkungannya. Sehingga
permasalahan lahan gambut menimbulkan
dampak buruk bagi masyarakat sekitar.
0 komentar:
Post a Comment