Sunday, December 31, 2017

December 31, 2017


lahan gambut yang terbakar

Indonesia adalah negara yang memiliki sejuta kekayaan alam yang tersebar dari sabang sampai merauke. Kekayaan alam tersebut terdiri dari agraris dan maritim. Dalam kekayaan maritim, Indonesia memiliki lautan sangat  luas serta terdapat sumber daya laut yang melimpah di dalammya. Sedangkan kekayaan agraris di Indonesia meliputi sektor pertanian, perikanan air tawar, peternakan, dan perkebunan. Sektor pertanian menjadi andalan bagi Indonesia dalam memanfaatkan kekayaan agraris. Tetapi masalah yang sering timbul dalam sektor pertanian masih sulit untuk diatasi. Masalah tersebut tentang pemanfaatan lahan gambut di Indonesia.   
Tidak jarang realita harus kontra dengan harapan yang telah dirumuskan. Hingga saat ini pemanfaatan lahan gambut di Indonesia masih menuai  pro dan kontra dari berbagai pihak, walaupun pemanfaatannya belum dapat memberikan hasil maksimal. Maka dari itu, perlu ditegaskan kembali tentang arti sesungguhnya dari kata “pemanfaatan” dalam permasalahan lahan gambut di Indonesia. 
Membiarkan lahan gambut untuk habitat flora atau fauna merupakan salah satu pemanfaatan lahan gambut yang bijaksana. Pernyataan ini telah disepakati dalam salah satu seminar di luar negeri yang bernama “Wise Use of peatland”. Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan karena telah dipertegas kembali pada “ international symposium and workshop and National Seminar on restoration and wise use of tropical peatland yang diselenggarakan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Oleh karena itu para ilmuwan maupun penentu kebijakan harus mengubah konsepsi bahwa pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan dengan membuka lahan baru hingga penanaman komoditi tertentu saja. Pembukaan lahan  baru dapat mengubah fungsi asli dari wilayah gambut itu sendiri. Berdasarkan fakta, hal ini dapat mengancam ekosistem termasuk merugikan bagi masyarakat di sekitarnya. Seperti halnya proyek PLG di Kalimantan tengah yang ditargetkan akan menjadi sentral penghasil beras terbesar, justru mengancam ekosistem di sekitarnya. Proyek PLG di Kalimantan tengah ini sekarang menjadi penghasil asap. Keinginan pihak tertentu atau kepentingan politik sudah seharusnya dijauhkan dari permasalahan ini. Karena masalah asap yang telah timbul di Kalimantan tengah tidak dapat dipolitisir seperti halnya para pejabat. Tidak masalah jika gambut dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, tetapi perlu dilakukan pengelolahan secara baik dan benar serta tanggung jawab. Selain itu penanaman komoditi tanaman harus sesuai dengan jenis lahan gambut itu sendiri. Artinya kita perlu cermat dalam mengelolanya.
Menurut seorang peneliti bernama Hardjowigeno, Gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan bertambah  karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda denga proses pedogenik.
Lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan jika gambut dangkal atau kurang dari 100 cm. Fakta ini sesuai dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Tanaman pangan yang dapat beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubi kayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya. Sedangkan lahan gambut dengan kedalaman antara 1,4 - 2 m dapat ditanami kelapa sawit. Tetapi lahan gambut dalam dinilai lebih sulit dalam pengelolaannya daripada lahan gambut dangkal. Dalam pemanfaatan lahan gambut juga tidak boleh melanggar Keputusan Presiden No. 32/1990 yang berisi tentang larangan menanam atau mengolah lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 m. Karena lahan tersebut diperuntukan untuk kawasan konservasi.  
Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi pengelolaan air, yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan gambut. Tanaman padi sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval atau jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun dampak negatif dari drainase akan membuat semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut. Selain itu perlu adanya pengelolaan kesuburan tanah. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tanaman pangan dapat memberikan hasil maksimal. Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah. Dalam pengelolaan lahan gambut juga diperlukan strategi untuk meningkatkan kesuburan tanahnya. Karena keterbatasan kemampuan untuk mendapat pupuk dan bahan amelioran, maka untuk meningkatkan kesuburan tanah petani membakar seresah tanaman dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Praktek ini dapat ditemukan di kalangan petani yang menanam sayuran dan tanaman pangan secara tradisional di berbagai tempat seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi. Dengan cara ini petani mendapatkan amelioran berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut. Namun, abu hasil pembakaran mudah hanyut dan efektifitasnya terhadap peningkatan kesuburan tanah tidak berlangsung lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena dapat memicu kebakaran hutan dan lahan yang lebih luas, mempercepat subsiden, meningkatkan emisi  dan mendatangkan bahaya asap yang menganggu kesehatan serta  menganggu lalu lintas. Untuk menghindari kebakaran, maka pembakaran serasah harus dilakukan secara terkendali di satu tempat khusus berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan baik di lahan gambut di Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah harus dilakukan  langsung di lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut di bawahnya jenuh air supaya gambut tidak terbakar. Dalam jangka panjang pembakaran serasah dan gambut perlu dicegah untuk menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan bimbingan cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk bagi petani oleh pemerintah setempat.
 Selain dapat dimanfaatkan sebagi lahan untuk pertanian, gambut juga dapat dimanfaatkan sebagai wilayah konservasi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam keputusan presiden No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan terhadap kawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Konservasi lahan gambut juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya karbon tersimpan yang jumlahnya sangat besar. Konservasi kawasan gambut sangat penting karena hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan luasan gambut di beberapa tempat di Indonesia.  Di kawasan delta pula petak pada tahun 1952 masih tercatat sekitar 51.360 ha lahan gambut. Pada tahun 1972 kawasan gambut di daerah tersebut menyusut menjadi 26.400 ha dan selanjutnya pada tahun 1992 menyusut lagi menjadi 9.600 ha (Sarwani dan Widjaja-Adhi, 1994). Hal ini menunjukkkan bahwa laju kerusakan gambut berjalan sangat cepat. Selain hilangnya fungsi hidrologis lahan gambut, ada bahaya lain bila tanah mineral di bawah lapisan gambut adalah tanah mineral berpirit. Saat ini sebagian besar dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi lahan  sulfat masam aktual terlantar dan menjadi sumber pencemaran lingkungan perairan di daerah sekitarnya.
Menurut widjaja-adhi (1997) wilayah ekosistem lahan gambut dapat dibagi menjadi dua kawasan, yaitu: kawasan non-budidaya dan kawasan budidaya. Kawasan non-bududaya terdiri dari jalur hijau sepanjang pantai dan tanggul sungai.  Sedangkan, kawasan budidaya terdiri dari area tampul hujan yang luasnya minimal sepertiga dari seluruh kawasan. Area tampung hujan ini harus menjadi kawasan konservasi. Karena berfungsi  sebagai penyimpan air yang bisa mensuplai air bagi wilayah di sekitarnya, terutama pada musim kemarau, baik untuk air minum maupun usaha tani. Pada musim hujan kawasan ini berfungsi sebagai penampung air yang berlebihan sehingga mengurangi resiko banjir di kawasan sekitarnya. Hal ini terbukti karena gambut memiliki daya menampung air sangat besar yaitu sampai 13 kali bobot keringnya. Perlindungan terhadap kawasan tampung hujan akan menjamin kawasan sekitarnya menjadi lebih produktif.
Ada beberapa pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka konservasi lahan gambut:
1)      menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut,
Kebakaran lahan gambut yang sering terjadi di Indonesia banyak disebabkan oleh kesengajaan manusia itu sendiri. Atau ketika musim kemarau tiba maka pepohonan yang kering biasanya akan terbakar dengan sendirinya.  Sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan dengan cara membuat peraturan tentang larangan membakar lahan gambut di area terbuka.
2)      penanaman kembali pohon-pohonan,
Pemerintah daerah dan juga masyarakat perlu melakukan reboisasi atau penanaman kembali tanaman asli pada lahan gambut yang telah dimanfaatkan .
3)      pengaturan tinggi muka air tanah,
Perlu dilakukan pengaturan terhadap muka tinggi air tanah. Karena jika muka air tanah terlalu tinggi maka pada musm penghujan lahan gambut aka rawan banjir. Sedangkan jika muka air tanah terlalu rendah akan berdampak buruk bagi gambut pada musim kemarau.
4)      memanfaatkan lahan semak belukar yang terlantar,
Masyarakat maupun pemerintah seharusnya dapat memanfaatkan    lahan semak belukar yang tidak produktif menjadi produktif dengan penanaman komodti tertentu yang cocok bagi wilayah tersebut.
5)      penguatan peraturan perundang-undangan dan pengawasan penggunaan   dan pengelolaan lahan gambut, dan
Pemerintah perlu memberlakukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penggunaan dan pengelolaan lahan gambut. Sehingga para pelaku mendapat batasan-batasan tertentu tentang pengelolaan lahan gambut di Indonesia.

6)      pemberian insentif dalam konservasi gambut.
Pemerintah perlu memberikan dana kepada pengelola gambut agar wilayah tersebut dapat dijadikan wilayah konservasi sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku. Karena biasanya faktor dana sering menjadi alasan bagi para pengelola untuk merealisasikan hal tersebut.
Permasalahan lahan gambut seharusnya dapat diatasi dengan mudah jika pihak pengelola dan pemerintah dapat bekerja sama. Pihak pengelola perlu mengkoordinasikan berbagai permasalahan lahan gambut kepada pemerintah. Pemerintah juga harus responsif dalam menanggapi permasalahan ini. Permasalahan lahan gambut sering timbul akibat pengelola yang menentukan kebijakannya sendiri tanpa mempertimbangkan dampak lingkungannya. Sehingga permasalahan lahan  gambut menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat sekitar.
     

0 komentar:

Post a Comment