Kaligrafi |
Sudah tidak asing tampaknya dengan
judul ini bukan? Ya, ini adalah salah satu buku yang ditulis oleh presiden
keempat Republik Indonesia. Beliau adalah (alm) Abdurrahman Wahid, seseorang
yang terkenal dengan pluralismenya. Beliau adalah sosok yang nyentrik, bahkan
paling nyentrik ketika masanya. Meskipun hanya waktu singkat yang beliau
rasakan sebagai seorang Presiden tetapi sudah banyak kebijakan-kebijakan yang
telah dilakukan beliau selama menjadi Presiden. Selain menjadi seorang
politisi, beliau juga merupakan sosok yang terkenal sangat agamis dan juga
sastrawan. Salah satu karyanya yang telah dibukukan berjudul “Tuhan Tidak Perlu
Dibela”, telah menjadi fenomenal meskipun baru diterbitkan pada awal tahun
2011. Ini merupakan bukti bahwa banyak karya beliau yang telah menjadi
legendaris karena dapat menarik minat literasi di Indonesia.
Pada buku yang pengantarnya ditulis
oleh Bisri Effendy tersebut, terdapat beberapa bagian bab yang memiliki kisah
atau maknanya sendiri-sendiri. Beliau menuliskan mulai tentang pemikiran
Islam, kebangsaan dan kebudayaan, demokrasi, ideologi bahkan politik. Salah satu
yang menarik dari bagian bab buku ini adalah mengenai “Tuhan Tidak Perlu
Dibela”. Bagian ini ditulis pada bagian ke-16 halaman 65. Diceritakan seorang
sarjana yang baru saja menyelesaikan studinya dari luar negeri untuk kembali ke
Tanah air. Sarjana tersebut telah lama tinggal di negeri yang penduduk
muslimnya menjadi minoritas.
Tuhan Tidak Perlu Dibela |
Sarjana baru yang disebut sebagai “X
“ ini dibuat terheran-heran dengan keadaan umat muslim di Indonesia. Terdapat
amarah dimana-mana, mulai dari media massa sampai perkhutbahan yang sedang
melanda umat muslim saat itu. ketika “X” mengikuti sebuah lokakarya, ia menjadi bingung dikala seorang ilmuwan
eksata tingkat top, yang menolak wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas para
ilmuwan seluruh dunia, dan mengajukan “teori ilmu pengetahuan menurut Islam
sebagai alternatif. Idealisasi wawasan Islam yang juga belum jelas benar apa
batasnya bagi ilmuwan yang berbicara itu, membuat sarjana tersebut risau.
Diceritakan pula bahwa sarjana “X”
ini telah berusaha untuk mencari jawaban atas kerisauannya ini. Ia tidak dapat
memberikan penilaian atas keadaan tersebut, meskipun ia telah mendapatkan
predikat doktor pada salah satu cabang ilmu sosial. Beberapa tokoh ia mintai
keterangan pendapat atas keadaan tersebut, tetapi tidak ada satupun yang dapat
memuaskannya. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang bernama
A-Hujwiri.
Al-Hujwiri mengatakan: "Bila engkau
menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau
sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “ia menyulitkan” kita.
Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti
berubah menjadi persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan
kesulitan yang diakibatkannya.”
Pernyataan tersebut telah memuaskan
sarjana “X” tersebut, begitu pula dengan saya yang sejak tadi penasaran dengan
jawabannya. Pernyataan tersebut menurut saya memberikan sebuah penjelasan bahwa
kita sebagai umat Islam harus dapat mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya terlebih dahulu sebelum
mengambil sebuah keputusan. Pikiran yang jernih harus lebih diutamakan.
Sedangkan sekarang ini banyak peristiwa yang menyangkut persoalan agama kerap
diimbangi dengan emosi yang berlebih. Seharusnya kita sebagai umat muslim harus
dapat lebih menyadari posisi kita. Simbolisasi Islam yang melekat pada diri
kita perlu kita junjung tinggi, justru dengan sikap yang terlalu emosional
dapat menghancurkan kita sendiri. Istilahnya seperti “Senjata makan tuan”.
Saya setuju dengan apa yang telaah
dituliskan pada buku tersebut bahwa Islam perlu dikembangkan, bukan untuk
dihadapkan pada serangan seseorang. Kebenaran Alllah tidak akan berkurang
sedikit pun dengan adanya keraguan seseorang. Menurut saya sebuah keperluan
justru bagi seseorang untuk penasaran akan Tuhan-Nya sehingga ia akan berusaha
untuk terus mendekatinya. Suatu hal yang wajar jika timbul rasa penasaran,
keraguan serta keingintahuan yang lebih. Justru hal seperti ini akan membawa
kita menuju iman dan taqwa yang sesungguhnya bukan iman dan taqwa yang hanya
didasari oleh hegemoni belaka.
Abdurrahman Wahid |
Referensi
:
Abdurrahman
Wahid. 2011. Tuhan Tidak Perlu Dibela.
LkiS: Yogyakarta. (hal 65).
0 komentar:
Post a Comment