Monday, January 15, 2018

January 15, 2018



           
Kaligrafi
Sudah tidak asing tampaknya dengan judul ini bukan? Ya, ini adalah salah satu buku yang ditulis oleh presiden keempat Republik Indonesia. Beliau adalah (alm) Abdurrahman Wahid, seseorang yang terkenal dengan pluralismenya. Beliau adalah sosok yang nyentrik, bahkan paling nyentrik ketika masanya. Meskipun hanya waktu singkat yang beliau rasakan sebagai seorang Presiden tetapi sudah banyak kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan beliau selama menjadi Presiden. Selain menjadi seorang politisi, beliau juga merupakan sosok yang terkenal sangat agamis dan juga sastrawan. Salah satu karyanya yang telah dibukukan berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, telah menjadi fenomenal meskipun baru diterbitkan pada awal tahun 2011. Ini merupakan bukti bahwa banyak karya beliau yang telah menjadi legendaris karena dapat menarik minat literasi di Indonesia.
            Pada buku yang pengantarnya ditulis oleh Bisri Effendy tersebut, terdapat beberapa bagian bab yang memiliki kisah atau maknanya sendiri-sendiri. Beliau menuliskan mulai tentang pemikiran Islam, kebangsaan dan kebudayaan, demokrasi, ideologi bahkan politik. Salah satu yang menarik dari bagian bab buku ini adalah mengenai “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Bagian ini ditulis pada bagian ke-16 halaman 65. Diceritakan seorang sarjana yang baru saja menyelesaikan studinya dari luar negeri untuk kembali ke Tanah air. Sarjana tersebut telah lama tinggal di negeri yang penduduk muslimnya menjadi minoritas.
Tuhan Tidak Perlu Dibela
            Sarjana baru yang disebut sebagai “X “ ini dibuat terheran-heran dengan keadaan umat muslim di Indonesia. Terdapat amarah dimana-mana, mulai dari media massa sampai perkhutbahan yang sedang melanda umat muslim saat itu. ketika “X” mengikuti sebuah lokakarya,  ia menjadi bingung dikala seorang ilmuwan eksata tingkat top, yang menolak wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas para ilmuwan seluruh dunia, dan mengajukan “teori ilmu pengetahuan menurut Islam sebagai alternatif. Idealisasi wawasan Islam yang juga belum jelas benar apa batasnya bagi ilmuwan yang berbicara itu, membuat sarjana tersebut risau.
            Diceritakan pula bahwa sarjana “X” ini telah berusaha untuk mencari jawaban atas kerisauannya ini. Ia tidak dapat memberikan penilaian atas keadaan tersebut, meskipun ia telah mendapatkan predikat doktor pada salah satu cabang ilmu sosial. Beberapa tokoh ia mintai keterangan pendapat atas keadaan tersebut, tetapi tidak ada satupun yang dapat memuaskannya. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang bernama A-Hujwiri.
            Al-Hujwiri mengatakan: "Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah menjadi persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”
            Pernyataan tersebut telah memuaskan sarjana “X” tersebut, begitu pula dengan saya yang sejak tadi penasaran dengan jawabannya. Pernyataan tersebut menurut saya memberikan sebuah penjelasan bahwa kita sebagai umat Islam harus dapat mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya terlebih dahulu sebelum mengambil sebuah keputusan. Pikiran yang jernih harus lebih diutamakan. Sedangkan sekarang ini banyak peristiwa yang menyangkut persoalan agama kerap diimbangi dengan emosi yang berlebih. Seharusnya kita sebagai umat muslim harus dapat lebih menyadari posisi kita. Simbolisasi Islam yang melekat pada diri kita perlu kita junjung tinggi, justru dengan sikap yang terlalu emosional dapat menghancurkan kita sendiri. Istilahnya seperti “Senjata makan tuan”.
            Saya setuju dengan apa yang telaah dituliskan pada buku tersebut bahwa Islam perlu dikembangkan, bukan untuk dihadapkan pada serangan seseorang. Kebenaran Alllah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan seseorang. Menurut saya sebuah keperluan justru bagi seseorang untuk penasaran akan Tuhan-Nya sehingga ia akan berusaha untuk terus mendekatinya. Suatu hal yang wajar jika timbul rasa penasaran, keraguan serta keingintahuan yang lebih. Justru hal seperti ini akan membawa kita menuju iman dan taqwa yang sesungguhnya bukan iman dan taqwa yang hanya didasari oleh hegemoni belaka.

Abdurrahman Wahid

Referensi :
Abdurrahman Wahid. 2011. Tuhan Tidak Perlu Dibela. LkiS: Yogyakarta. (hal 65).      

0 komentar:

Post a Comment