Thursday, March 15, 2018

March 15, 2018




Ruang gelap  tanpa secercah cahaya pun kecuali yang memancar mengenai tubuhku. Aku mendengar suara langkah kaki, semakin jelas, dan jelas, sedang mengelilingiku.  “Siapa itu?” 

Terdengar suara berasal entah dari mana, yang jelas aku mendengarnya. Suaara itu seperti tepat di dekat daun telingaku, “Hidup dalam kensunyian, sendiri, kecewa, menyesal, sakit hati.....”

“Apa yang sebenarnya kau harapkan dari hidup ini? Setelah semua itu apa yang akan kau lakukan?
Dalam realitas ini mau apa?”, lagi-lagi suara itu semakin mengema di ruangan itu. Aku pikir kali ini aku sedang bermimpi. Mungkin ini dampak setelah aku patah hati, bisa jadi.

“Mau apa kamu? Sudah cukup! Keluarlah!”, tiba-tiba sesuatu menghantam kepalaku tepat di bagian “cengel” atau lebih tepatnya bagian leher belakang kepala. “Maaf mas, aku enggak sengaja,” bocah itu lalu dengan lagak tidak berdosa mengambil bola itu dengan enttengnya.

“Lempar kesini bolanya woy!” teriak salah satu kawan bocah ini. Di lemparkan bola permainan itu, dan permainan pun berlanjut. “Seru sekali!” ucapku berbisik.

Dalam scene yang lain, kembali bocah itu menjadi aktor utamanya. Tampak ia sedang berada di suatu ruangan yang berisi kawan-kawannya dengan seorang yang sudah tidak muda lagi  di depannya, yang biasanya kita sebut dengan sebutan “guru”. “Wajahnya seperti tidak asing...”, “Sepertinya aku pernah kesini sebelumnya...”, “ini seperti dejavu

Bocah itu tertangkap tangan ketika sedang menyalin jawaban temannya pada  saat ujian, lalu ia juga sukses memecahkan kaca kelasnya ketika ia sedang mencoba meraih bola sepak yang tersangkut diatas genteng. “Bocah itu! Pembuat onar!”, isak tanngis mengiringi proses pecahnya kaca kelas itu. 

Bocah itu membuat banjir seluruh bagian bola matanya.  Untungnya ia memiliki seorang kakak kandung yang sedang bersekolah juga disana. Tangis bocaah itu pun dapat  di kuurangi frekuensinya tetapi tetap saja menangis.

Scene yang lain menunjukkan ketika seorang ayah berkata kepada putranya, “Jika kamu ingin jalan-jalan, kamu besok harus bawa pulang nilai A sayang...”, “Itu gampang kok, oke...” jawab bocah yang telah sukses menimpuk kepalaku pada scene awal tadi.

“Ayah! Ibu! Aku dapat B!”, “Sekarang kita bisa pergi kan?” tanya bocah itu. “Ayahkan bilangnya nilai A nak, kenapa  nilai B kamu senang?” tanya ayah bocah itu, “Masih mending aku dapat B, banyak temanku yang dapat lebiih buruk dari ini kok...”  ucap bocah yang pandai bermain lidah itu. 

“Iya kita tetap pergi kok, tapi besok ya...” , “hooreee! Kita jalan-jalan!” Sorak bocah brengsek itu.
Scene berlanjut langsung ketika bocah itu sudah melewatkan 3 tahun sekolahnya. Kali ini keadaan tampaknya berubah sejauh aku mengamati. Bocah itu berdiri di tengah jarak antara kedua orang tuanya. Ia berlari sesaat kepada ibunya, lalu kembali lagi. Bocah itu lari bolak-balik, tetapi jarak tempuhnya semakin jauh saja. “itu sangat melelahkan” kataku.

“apa yang akan kamu lakukan sekarang ini?” suara itu, “aku mungkin akan bermain komedi putar” jawabku. Mereka semua telah merubahku, semenjak kematian ayah dan ibuku, praktis aku hanya sebatang kara yang akhirnya tersakiti oleh seorang wanita yang sebelumnya belum ada dalam pikiranku, sama sekali.

“Ikutlah denganku! Kita akan bersama-sama” suara itu. Tetapi semenjak peristiwa pahit itu aku sudah tidak memiliki rasa, cinta, dan apalah itu. Itu semuanya adalah idealisme belaka, semuanya fana, 
mustahil. “Sebelum aku ikut denganmu apakah aku boleh meminta sesuatu?”tanyaku, “apa? Sebutkan saja!” sosok itu, “Membunuhmu!”

“Boleh saja, aku berjanji. Sekarang nyawaku ada padamu, aku pastikan itu. Tetapi sebelum itu ikutlah!”, kali ini aku tidak sadar telah mengikutinya entah sejauh apa sampai aku tiba di sebuah rumah yang terstruktur dari anyaman bambu kalau tidak salah, letaknya hanya beberapa meter dari rel kereta. Kesan pertama saat aku menginjakkkan kaki disana adalah “Tempat apa ini?” tanyaku, “ini tempat kami” sosok itu.

Aku melihat beberapa sosok pria berpenampilan bangsat, bajingan, amatiran, muka penjahat, brengsek, semuanya ada disitu. Jumlahnya kalau aku hitung yaitu 15 orang termasuk yang ada di sampingku itu. Tampaknya mereka sedang formalitas, sehingga mungkin mereka sedang berbenah dalam menyambut kehadiranku. Mungkin mereka telah menyembunyikan minuman keras, pelacur,  obat terlarang dan segala yang biasa dimiliki oleh seorang bajingan.

“Besok kita akan beraksi! Persiapkan diri kalian!” sosok itu, “Aksi apa?” tanyaku, “lihat saja nanti!” sosok itu.

Ketika mentari belum tampak mereka sudah bergegas membawa semua peralatan tempurnya . tak lupa mereka membawa tenda dan tongkat besi untuk disusunnya nanti. Mereka semua bergotong royong dan kali ini aku melihat sekelompok penjahat sedang beraksi.

Akhirnya mereka tiba di lokasi tepat ketika cahaya silau mentari itu mulai nampak dari sisi timur mereka. Dengan cepat dan terbiasa tenda pun sudah didirikan beserta semau dagangan mereka. “Penjahat bisa jualan juga ya,” perkataanku penuh sindiran, “mungkin” sosok itu.

Ketika hari menjelang siang, tepatnya setelah waktu dzuhur. Mereka yang telah berkeliling akhirnya kembali ke markas utama. “Ini bos, Barangnya.”. setelah menghitung jumlah uang yang diambilnya dari dalam dompet sitaan itu, “Kali ini kita dapat banyak, totalnya  5.650.000. ini sudah cukup.”, “itu lebih dari cukup untuk kau tukarkan dengan dosa kalian!” Kataku dengan nada kesal.

Sekarang aku sudah tau bahwa memang benar wajah mereka adalah cermin dari perbuatan mereka, wajah brengsek pasti brengsek pula. Kali ini entah mengapa aku kembali mengikuti gerak mereka, sampai akhirnya aku sampai di sebuuah temmpat yang berbeda jauh dengan tempat sebelumnya yang kotor dan tidak steril. “tempat ini?”, sosok itu memasuki rumah itu lalu berkata ”apakah aku dapat membesuknya?” , “tentu saja pak, “, wanita berumur itu lalu mengantarnya ke dalam. Sosok itu tampaknya telah berjumpa dengan beberapa kakek dannenek tua serta beberapa anak-anak ingusan itu. Jika di hitung, kunjungan itu menghabiskan waktu sekitar kurang lebih empat pulu menint dan sukses untuk membuatku kelelahan menunggu.

Setelah kunjungan itu, kali ini pria itu mengambil kesempatan ketika penjaga pondok itu sedang tidak disana, ia memasuki tempat dimana uang itu tersimpan, membuka lemarinya dan memasukkan tangannya ke dalam dengan sebuah plastik. “payah tidak kali ini!” kataku, kali ini aku sukses mengetahui maksudnya itu. Tampaknya ia menaruh uang tadi ke dalam lemari itu. “untuk apa?” tanyaku, “untuk mereka” sosok itu.

Untuk beberapa saat aku terdiam, ketika ada langkah kaki memasuki pintu rumah kamii pun bergegas meninggalkan ruangan tersebut. Lalu berakting dalam sikap wajar tanpa rasa berdosa sama sekali, “Kami pulang dulu ya.” Sosok itu, “iya pak, jangan lupa berkunjung lagi ya.” Jawab wanita itu.
Satu hal yang membuatku cukup terkejut, kali ini mereka melakukannya untuk apa, sekarang aku sudah tau. Sejak awal memang mereka tidak canggung sedikit pun dalam menerima kehadirannku. 

Mereka semua lepas dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Sikap mereka cukup santun untuk penampilannya yang kontras. Tampaknya kali ini penampilan bukanlah jaminan bagiku dan tentunya bagi mereka.

Malam harinya dengan penuh kelelahan kami mengistirahatkan sejenak tubuh itu dengan meminum secangkir kopi di warung terdekat. “Bagaimana kau membayar ini? Bukankah semua uang itu telah...”, “tenang saja semua terima beres deh..” sosok itu.

Beberapa saat pandanganku teralihkan oleh dua sosok yang salah satunya tidak asing bagiku. Tidak berhenti aku mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikannya dengan seksama. Sialnya, kali ini aku diganggu oleh sosok itu, “Ada yang sedang mencuri nih” dengan nada meledek. “Apaan sih, gak ada apa-apa kok” bantahku. “Cewek itu kan? Siapa dia?” tanyanya. Akhirnya perhatian 15 orang lelaki itu  berpusat kepadaku, ini memang sangat buruk, semua ini ulah si pria bangsat itu. “dia bukan siapa-siapa, aku tidak kenal.” Jelasku. “Bukankah ia yang kamu incar ketika masa itu?” tanyanya lagi. “Wanita itu sekarang sedang asik berpacaran ya.” Sosok itu, “Memang itu sangat sakit bila dirasakan.”, “ketika kita berharap kepada seseorang maka kemungkinan besar kita akan dikecewakan.” sosok itu, “sudahlah jangan bahas itu lagi!” kataku.

Malam itu aku dipertemukan dengan sosok yang tidaklah asng lagi bagiku. Meskipun dalam keadaan yang tidak aku harapkan untuk terjadi. Tapi apa daya aku tidak dapat memilihnya. Mereka terlihat mesra satu sama lain, dan memang sudah fitrahnya. Dan fitrahnya lagi wajar jika aku sakit hati. Tapi sudahlah, kejadian hari ini sudah lebih berharga daripada kejadian malam itu. Aku mencoba untuk melupakannya meskipun sepertinya dusta.

“aku pulang dulu, rumahku tidak jauh dari sini. Terima kasih sebelumnya.” kataku, “baiklah, tidak apa-apa kok, sans aja, lain kali kalau ada waktu, sempatkanlah mengunjungi kami di tempat biasa!” sosok itu. Waktu yang tepat bagiku untuk memisahkan diri dari mereka ketika mereka telah kelelahan setelah seharian beraksi.

Untuk pekan berikutnya aku mengizinkan diriku untuk ikut bersama mereka dalam aksi tersebut meskipu hanya sebagai penonton. Tidak butuh waktu lama, sebelum waktu dzuhur 6 juta telah terkumpul. “Gercep” memang mereka, begitupun bebrapa personil polisi setempat yang langsung menodongkan pistol ke arah mereka. “Jangan bergerak! Kalian kami tangkap!” teriak salah seorang polisi. Mereka pun tak dapat berkutik lagi aksi mereka sudah berakhir kali ini. Kecuali aku yang tidak ikut diciduk oleh operasi kepolisian tersebut.

“terima kasih atas laporannya, karena partisipasi anda kami terbantu.” Ujar salah seorang polisi. 

“Tidak apa-apa ini sudha menjadi kewajiban kok.” Jawabku dengan sedikit senyuman. Mereka yang tertangkap tahu betul siapa aku, tetapi mereka enggan berkomentar atas peristiwa itu.

Selama di penjara mereka tidak tampak sedih, justru mereka terlihat senang ketika mendapatkan makanan gratis disana. Mereka merasa kehidupan penjara lebih nyaman daripada kehidupan di luar sana. Hanya saja kebahagiaan itu hanya untuk sesaat, ketika mereka kembali mengingat soal orang tua dan anak tadi. Apakah mereka sudah makan? Bagaimana dengan rumah penampungan itu? Darimana mereka mendapatkan uang? Mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yaang selalu hinggap di pikiran mereka.

Selama sidang berlangsung, praktis mereka tidak memiliki apapun bukti untuk membebaskan mereka dari vonis 10 tahun yang dijatuhkan oleh hakim peradilan. 10, 15, 20, 25, bahkan 100 tahun sama saja bagi mereka kecuali mengenai nasib orang-orang yyang mereka tinggalkan. Ibaratnya bagaimana mereka bisa hidup tanpa nafkah? Karena itu aku akhirnya berkunjung ke lapas tempat mereka ditahan untuk sepuluh tahun lamanya.

“bagaimana kabar kalian?” tanyaku. “Baik kok,” sosok itu, “kamu sendiri gimana?” tanyanya. “sama juga tuh.” Kataku.  “maaf kalau aku kehadiranku menganggu kalian.” Ungkapku, “engga kok sans aja kali.” Sosok itu. “aku berjanji kepada kalian untuk mereka.” Kataku. “apa kau akan membantu mereka?” tanya mereka. “Tentu saja, ini karena kalian aku beraksi. Aku akan meneruskannya.” Jawabku. “terima kasih banyak teman, kau memang yang terbaik.” Jawab sosok itu dengan gembira meskipun mereka tidak akan dapat menghirup udara di luar lapas selama 10 tahun. Tetapi mereka sangat mempercayakan semua itu kepadaku.

Ketika 10 tahun telah berlalu, mereka akhirnya sepeti terlahir kembali dan menghirup udara segar di luar lapas. “Akhirnya, setelah sekian lama” ujarnya. “apakah kita bisa ke sana?” tanyanya. “tentu saja.”  Sosok itu. Tempat pertama yang mereka kunujungi setellah keluar dari lapass adalah rumah kumpulan orang sepuh dan anak-anak itu.

“Tampaknya sudah banyak berubah.” Ujar salah satu diantara mereka. ”Menjadi semakin baik.”, 

“tampaknya begitu.” Sosok itu. “ngomong-ngomong dimana lelaki itu ya? Aku ingin menemuinya”. Mereka pun setuju untuk mencari tahu keberadaan tokoh utama itu. Tetapi hampir seminggu mereka tidak mendapatkan kabar apapu tentangnya.

Tampaknya ada seseorang yang sedang berkunjung ke tempat penampungan itu, sosok itu memeprthatikannya dan melihat semua yang dilakukan pria itu. “Sama saja! Ia melakukan seperti apa yang telah kita lakukan dulu.”, “benarkah? Mengapa?”. Dengan keheranan sosok itu akhirnya mendapati pria itu sebelum ia pergi menggunakan kendaraannya. “permisi pak, anda siapa ya? Kalau boleh saya tahu” tanya sosok itu. “Saya tukang pos mas. Memang ada apa ya?” tanya pria itu. “Jika anda tukang pos mengapa anda tidak menggunakan seragam anda ketika masuk ke rumah itu tadi?” tanya lagi. “Oh yang tadi, saya memang mendapatkan tugas khusus dari seseorang , ia memang meninta saya untuk melakukan itu. Meskipun sedikit repot tetapi saya ikhlas kok mas, lagian maksud pengirim kan baik toh.” Kata pria pos itu.

Mendengar informasi tentang sosok pengirim itu, ia langsung menduga bahwa ialah pria yang mereka maksud. “Ketemu kau.” Sosok itu, akhirnya mereka memutuskan untuk menemuinya besok malam pada saat jam kerja pria itu.

Pada malam tersebut terlihat pria itu sedang bekerja keras menyelesaikan pekerjaannya sebagai pencuci piring makanan yang kotor itu. Ketika tepat pukul 12 malam pria yang sudah ditumbuhi jenggot dan bewok yang tebal itu keluar melalui pintu belakang rumah makan tersebut. Disana telah menunggu  mereka yang telah bebas dari lapas 10 tahun yang lalu. “Sudah tampak berbeda.” Sosok itu, tidak ada ucap satu kata pun kecuali senyum tanda setujunya itu.   

0 komentar:

Post a Comment