Ruang gelap
tanpa secercah cahaya pun kecuali yang memancar mengenai tubuhku. Aku
mendengar suara langkah kaki, semakin jelas, dan jelas, sedang
mengelilingiku. “Siapa itu?”
Terdengar suara berasal entah dari mana, yang jelas
aku mendengarnya. Suaara itu seperti tepat di dekat daun telingaku, “Hidup
dalam kensunyian, sendiri, kecewa, menyesal, sakit hati.....”
“Apa yang sebenarnya kau harapkan dari hidup ini?
Setelah semua itu apa yang akan kau lakukan?
Dalam realitas ini mau apa?”, lagi-lagi suara itu
semakin mengema di ruangan itu. Aku pikir kali ini aku sedang bermimpi. Mungkin
ini dampak setelah aku patah hati, bisa jadi.
“Mau apa kamu? Sudah cukup! Keluarlah!”, tiba-tiba sesuatu
menghantam kepalaku tepat di bagian “cengel” atau lebih tepatnya bagian leher
belakang kepala. “Maaf mas, aku enggak sengaja,” bocah itu lalu dengan lagak
tidak berdosa mengambil bola itu dengan enttengnya.
“Lempar kesini bolanya woy!” teriak salah satu kawan
bocah ini. Di lemparkan bola permainan itu, dan permainan pun berlanjut. “Seru
sekali!” ucapku berbisik.
Dalam scene
yang lain, kembali bocah itu menjadi aktor utamanya. Tampak ia sedang berada di
suatu ruangan yang berisi kawan-kawannya dengan seorang yang sudah tidak muda
lagi di depannya, yang biasanya kita
sebut dengan sebutan “guru”. “Wajahnya seperti tidak asing...”, “Sepertinya aku
pernah kesini sebelumnya...”, “ini seperti dejavu”
Bocah itu tertangkap tangan ketika sedang menyalin
jawaban temannya pada saat ujian, lalu
ia juga sukses memecahkan kaca kelasnya ketika ia sedang mencoba meraih bola
sepak yang tersangkut diatas genteng. “Bocah itu! Pembuat onar!”, isak tanngis
mengiringi proses pecahnya kaca kelas itu.
Bocah itu membuat banjir seluruh
bagian bola matanya. Untungnya ia
memiliki seorang kakak kandung yang sedang bersekolah juga disana. Tangis
bocaah itu pun dapat di kuurangi
frekuensinya tetapi tetap saja menangis.
Scene
yang
lain menunjukkan ketika seorang ayah berkata kepada putranya, “Jika kamu ingin
jalan-jalan, kamu besok harus bawa pulang nilai A sayang...”, “Itu gampang kok,
oke...” jawab bocah yang telah sukses menimpuk kepalaku pada scene awal tadi.
“Ayah! Ibu! Aku dapat B!”, “Sekarang kita bisa pergi
kan?” tanya bocah itu. “Ayahkan bilangnya nilai A nak, kenapa nilai B kamu senang?” tanya ayah bocah itu,
“Masih mending aku dapat B, banyak temanku yang dapat lebiih buruk dari ini
kok...” ucap bocah yang pandai bermain
lidah itu.
“Iya kita tetap pergi kok, tapi besok ya...” , “hooreee! Kita
jalan-jalan!” Sorak bocah brengsek itu.
Scene
berlanjut
langsung ketika bocah itu sudah melewatkan 3 tahun sekolahnya. Kali ini keadaan
tampaknya berubah sejauh aku mengamati. Bocah itu berdiri di tengah jarak
antara kedua orang tuanya. Ia berlari sesaat kepada ibunya, lalu kembali lagi.
Bocah itu lari bolak-balik, tetapi jarak tempuhnya semakin jauh saja. “itu
sangat melelahkan” kataku.
“apa yang akan kamu lakukan sekarang ini?” suara
itu, “aku mungkin akan bermain komedi putar” jawabku. Mereka semua telah
merubahku, semenjak kematian ayah dan ibuku, praktis aku hanya sebatang kara
yang akhirnya tersakiti oleh seorang wanita yang sebelumnya belum ada dalam
pikiranku, sama sekali.
“Ikutlah denganku! Kita akan bersama-sama” suara itu.
Tetapi semenjak peristiwa pahit itu aku sudah tidak memiliki rasa, cinta, dan
apalah itu. Itu semuanya adalah idealisme belaka, semuanya fana,
mustahil.
“Sebelum aku ikut denganmu apakah aku boleh meminta sesuatu?”tanyaku, “apa?
Sebutkan saja!” sosok itu, “Membunuhmu!”
“Boleh saja, aku berjanji. Sekarang nyawaku ada
padamu, aku pastikan itu. Tetapi sebelum itu ikutlah!”, kali ini aku tidak
sadar telah mengikutinya entah sejauh apa sampai aku tiba di sebuah rumah yang
terstruktur dari anyaman bambu kalau tidak salah, letaknya hanya beberapa meter
dari rel kereta. Kesan pertama saat aku menginjakkkan kaki disana adalah
“Tempat apa ini?” tanyaku, “ini tempat kami” sosok itu.
Aku melihat beberapa sosok pria berpenampilan
bangsat, bajingan, amatiran, muka penjahat, brengsek, semuanya ada disitu.
Jumlahnya kalau aku hitung yaitu 15 orang termasuk yang ada di sampingku itu.
Tampaknya mereka sedang formalitas, sehingga mungkin mereka sedang berbenah
dalam menyambut kehadiranku. Mungkin mereka telah menyembunyikan minuman keras,
pelacur, obat terlarang dan segala yang
biasa dimiliki oleh seorang bajingan.
“Besok kita akan beraksi! Persiapkan diri kalian!”
sosok itu, “Aksi apa?” tanyaku, “lihat saja nanti!” sosok itu.
Ketika mentari belum tampak mereka sudah bergegas
membawa semua peralatan tempurnya . tak lupa mereka membawa tenda dan tongkat
besi untuk disusunnya nanti. Mereka semua bergotong royong dan kali ini aku
melihat sekelompok penjahat sedang beraksi.
Akhirnya mereka tiba di lokasi tepat ketika cahaya silau
mentari itu mulai nampak dari sisi timur mereka. Dengan cepat dan terbiasa
tenda pun sudah didirikan beserta semau dagangan mereka. “Penjahat bisa jualan
juga ya,” perkataanku penuh sindiran, “mungkin” sosok itu.
Ketika hari menjelang siang, tepatnya setelah waktu
dzuhur. Mereka yang telah berkeliling akhirnya kembali ke markas utama. “Ini
bos, Barangnya.”. setelah menghitung jumlah uang yang diambilnya dari dalam
dompet sitaan itu, “Kali ini kita dapat banyak, totalnya 5.650.000. ini sudah cukup.”, “itu lebih dari
cukup untuk kau tukarkan dengan dosa kalian!” Kataku dengan nada kesal.
Sekarang aku sudah tau bahwa memang benar wajah
mereka adalah cermin dari perbuatan mereka, wajah brengsek pasti brengsek pula.
Kali ini entah mengapa aku kembali mengikuti gerak mereka, sampai akhirnya aku
sampai di sebuuah temmpat yang berbeda jauh dengan tempat sebelumnya yang kotor
dan tidak steril. “tempat ini?”, sosok itu memasuki rumah itu lalu berkata
”apakah aku dapat membesuknya?” , “tentu saja pak, “, wanita berumur itu lalu
mengantarnya ke dalam. Sosok itu tampaknya telah berjumpa dengan beberapa kakek
dannenek tua serta beberapa anak-anak ingusan itu. Jika di hitung, kunjungan
itu menghabiskan waktu sekitar kurang lebih empat pulu menint dan sukses untuk
membuatku kelelahan menunggu.
Setelah kunjungan itu, kali ini pria itu mengambil
kesempatan ketika penjaga pondok itu sedang tidak disana, ia memasuki tempat
dimana uang itu tersimpan, membuka lemarinya dan memasukkan tangannya ke dalam
dengan sebuah plastik. “payah tidak kali ini!” kataku, kali ini aku sukses
mengetahui maksudnya itu. Tampaknya ia menaruh uang tadi ke dalam lemari itu.
“untuk apa?” tanyaku, “untuk mereka” sosok itu.
Untuk beberapa saat aku terdiam, ketika ada langkah
kaki memasuki pintu rumah kamii pun bergegas meninggalkan ruangan tersebut.
Lalu berakting dalam sikap wajar tanpa rasa berdosa sama sekali, “Kami pulang
dulu ya.” Sosok itu, “iya pak, jangan lupa berkunjung lagi ya.” Jawab wanita
itu.
Satu hal yang membuatku cukup terkejut, kali ini
mereka melakukannya untuk apa, sekarang aku sudah tau. Sejak awal memang mereka
tidak canggung sedikit pun dalam menerima kehadirannku.
Mereka semua lepas dan
tidak ada yang ditutup-tutupi. Sikap mereka cukup santun untuk penampilannya
yang kontras. Tampaknya kali ini penampilan bukanlah jaminan bagiku dan
tentunya bagi mereka.
Malam harinya dengan penuh kelelahan kami
mengistirahatkan sejenak tubuh itu dengan meminum secangkir kopi di warung
terdekat. “Bagaimana kau membayar ini? Bukankah semua uang itu telah...”,
“tenang saja semua terima beres deh..” sosok itu.
Beberapa saat pandanganku teralihkan oleh dua sosok
yang salah satunya tidak asing bagiku. Tidak berhenti aku mencuri-curi
kesempatan untuk memperhatikannya dengan seksama. Sialnya, kali ini aku
diganggu oleh sosok itu, “Ada yang sedang mencuri nih” dengan nada meledek.
“Apaan sih, gak ada apa-apa kok” bantahku. “Cewek itu kan? Siapa dia?”
tanyanya. Akhirnya perhatian 15 orang lelaki itu berpusat kepadaku, ini memang sangat buruk,
semua ini ulah si pria bangsat itu. “dia bukan siapa-siapa, aku tidak kenal.”
Jelasku. “Bukankah ia yang kamu incar ketika masa itu?” tanyanya lagi. “Wanita
itu sekarang sedang asik berpacaran ya.” Sosok itu, “Memang itu sangat sakit
bila dirasakan.”, “ketika kita berharap kepada seseorang maka kemungkinan besar
kita akan dikecewakan.” sosok itu, “sudahlah jangan bahas itu lagi!” kataku.
Malam itu aku dipertemukan dengan sosok yang
tidaklah asng lagi bagiku. Meskipun dalam keadaan yang tidak aku harapkan untuk
terjadi. Tapi apa daya aku tidak dapat memilihnya. Mereka terlihat mesra satu
sama lain, dan memang sudah fitrahnya. Dan fitrahnya lagi wajar jika aku sakit
hati. Tapi sudahlah, kejadian hari ini sudah lebih berharga daripada kejadian
malam itu. Aku mencoba untuk melupakannya meskipun sepertinya dusta.
“aku pulang dulu, rumahku tidak jauh dari sini.
Terima kasih sebelumnya.” kataku, “baiklah, tidak apa-apa kok, sans aja, lain
kali kalau ada waktu, sempatkanlah mengunjungi kami di tempat biasa!” sosok
itu. Waktu yang tepat bagiku untuk memisahkan diri dari mereka ketika mereka
telah kelelahan setelah seharian beraksi.
Untuk pekan berikutnya aku mengizinkan diriku untuk
ikut bersama mereka dalam aksi tersebut meskipu hanya sebagai penonton. Tidak
butuh waktu lama, sebelum waktu dzuhur 6 juta telah terkumpul. “Gercep” memang
mereka, begitupun bebrapa personil polisi setempat yang langsung menodongkan
pistol ke arah mereka. “Jangan bergerak! Kalian kami tangkap!” teriak salah
seorang polisi. Mereka pun tak dapat berkutik lagi aksi mereka sudah berakhir
kali ini. Kecuali aku yang tidak ikut diciduk oleh operasi kepolisian tersebut.
“terima kasih atas laporannya, karena partisipasi
anda kami terbantu.” Ujar salah seorang polisi.
“Tidak apa-apa ini sudha
menjadi kewajiban kok.” Jawabku dengan sedikit senyuman. Mereka yang tertangkap
tahu betul siapa aku, tetapi mereka enggan berkomentar atas peristiwa itu.
Selama di penjara mereka tidak tampak sedih, justru
mereka terlihat senang ketika mendapatkan makanan gratis disana. Mereka merasa
kehidupan penjara lebih nyaman daripada kehidupan di luar sana. Hanya saja
kebahagiaan itu hanya untuk sesaat, ketika mereka kembali mengingat soal orang
tua dan anak tadi. Apakah mereka sudah makan? Bagaimana dengan rumah
penampungan itu? Darimana mereka mendapatkan uang? Mungkin
pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yaang selalu hinggap di pikiran mereka.
Selama sidang berlangsung, praktis mereka tidak
memiliki apapun bukti untuk membebaskan mereka dari vonis 10 tahun yang
dijatuhkan oleh hakim peradilan. 10, 15, 20, 25, bahkan 100 tahun sama saja
bagi mereka kecuali mengenai nasib orang-orang yyang mereka tinggalkan.
Ibaratnya bagaimana mereka bisa hidup tanpa nafkah? Karena itu aku akhirnya
berkunjung ke lapas tempat mereka ditahan untuk sepuluh tahun lamanya.
“bagaimana kabar kalian?” tanyaku. “Baik kok,” sosok
itu, “kamu sendiri gimana?” tanyanya. “sama juga tuh.” Kataku. “maaf kalau aku kehadiranku menganggu
kalian.” Ungkapku, “engga kok sans aja kali.” Sosok itu. “aku berjanji kepada
kalian untuk mereka.” Kataku. “apa kau akan membantu mereka?” tanya mereka.
“Tentu saja, ini karena kalian aku beraksi. Aku akan meneruskannya.” Jawabku.
“terima kasih banyak teman, kau memang yang terbaik.” Jawab sosok itu dengan
gembira meskipun mereka tidak akan dapat menghirup udara di luar lapas selama
10 tahun. Tetapi mereka sangat mempercayakan semua itu kepadaku.
Ketika 10 tahun telah berlalu, mereka akhirnya
sepeti terlahir kembali dan menghirup udara segar di luar lapas. “Akhirnya,
setelah sekian lama” ujarnya. “apakah kita bisa ke sana?” tanyanya. “tentu
saja.” Sosok itu. Tempat pertama yang
mereka kunujungi setellah keluar dari lapass adalah rumah kumpulan orang sepuh
dan anak-anak itu.
“Tampaknya sudah banyak berubah.” Ujar salah satu
diantara mereka. ”Menjadi semakin baik.”,
“tampaknya begitu.” Sosok itu.
“ngomong-ngomong dimana lelaki itu ya? Aku ingin menemuinya”. Mereka pun setuju
untuk mencari tahu keberadaan tokoh utama itu. Tetapi hampir seminggu mereka
tidak mendapatkan kabar apapu tentangnya.
Tampaknya ada seseorang yang sedang berkunjung ke
tempat penampungan itu, sosok itu memeprthatikannya dan melihat semua yang
dilakukan pria itu. “Sama saja! Ia melakukan seperti apa yang telah kita
lakukan dulu.”, “benarkah? Mengapa?”. Dengan keheranan sosok itu akhirnya
mendapati pria itu sebelum ia pergi menggunakan kendaraannya. “permisi pak,
anda siapa ya? Kalau boleh saya tahu” tanya sosok itu. “Saya tukang pos mas.
Memang ada apa ya?” tanya pria itu. “Jika anda tukang pos mengapa anda tidak
menggunakan seragam anda ketika masuk ke rumah itu tadi?” tanya lagi. “Oh yang
tadi, saya memang mendapatkan tugas khusus dari seseorang , ia memang meninta
saya untuk melakukan itu. Meskipun sedikit repot tetapi saya ikhlas kok mas,
lagian maksud pengirim kan baik toh.” Kata pria pos itu.
Mendengar informasi tentang sosok pengirim itu, ia
langsung menduga bahwa ialah pria yang mereka maksud. “Ketemu kau.” Sosok itu,
akhirnya mereka memutuskan untuk menemuinya besok malam pada saat jam kerja
pria itu.
Pada malam tersebut terlihat pria itu sedang bekerja
keras menyelesaikan pekerjaannya sebagai pencuci piring makanan yang kotor itu.
Ketika tepat pukul 12 malam pria yang sudah ditumbuhi jenggot dan bewok yang
tebal itu keluar melalui pintu belakang rumah makan tersebut. Disana telah
menunggu mereka yang telah bebas dari
lapas 10 tahun yang lalu. “Sudah tampak berbeda.” Sosok itu, tidak ada ucap
satu kata pun kecuali senyum tanda setujunya itu.
0 komentar:
Post a Comment